Judul : Jadilah Intelektual Progresif,!
Penulis : Eko Prasetyo,
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta,
Cetakan : I, September 2007,Tebal : v + 133 Halaman

Setiap alat adalah senjata jika kamu memegangnya secara benar.(Ani DiFranco)

Penderitaan bisa menjadi pedang jika diasah (Rogue, film)


Dimulai dengan ungkapan reflektif, sekaligus kritik terhadap teman, kawan dan sahabat yang berbalik menjadi lawan, ada yang berprofesi politisi, kontraktor, birokrat ataupun dosen. Di kampus, spirit solidaritas, radikalisme, energi resistensi seolah tak pernah redup disanubari. Tetapi setelah itu tak banyak dari mereka menjadi mantan aktivis yang justru menjadi penopang tiang-tiang penindasan atau penyangga kekuasaan yang dulu ia kritik, caci maki hingga kutukan. Radikalisme berubah menjadi kompromi, negosiasi dan kebijakan populis. Feodalisme yang dikritknya berubah menjadi anak emas yang harus dirawat, elitisme seakan menjadi trademark hari-harinya. Perburuan donor (proyeknisasi massa), penelitian tak ada bedanya dengan kerajinan tangan atau sulap dimana data potensi alam, kultur masyarakat deserahkan ke Negara donor. dengan data tersebut lima, enam atau sepuluh tahun kedepan akan membunuh generasi secara perlahan.
Bersamaan dengan penghianatan intelektual, Negara seakan tak peduli dengan kepentingan publik, remuknya layanan publik berbanding lurus dengan tingginya makin banyaknya investasi. [1]
Dimanapun penghianat harus dimusnahkan [mafia]
Ribuan pemuda ’istimewa’ yang berhasil terserap dalam dunia pendidikan bernama perguruan tinggi, beratus-ratus sarjana telah pula dilahirkan dari rahimnya. Tapi ketika korupsi telah menjangkiti semua orang yang berada di tubuh birokrasi, ketika harga kebutuhan pokok mencekik rakyat miskin, serta biaya sekolah kian hari kian mahal, kaum intelektual itu hanya diam beribu bahasa. Parahnya lagi, tak sedikit di antara mereka yang turut larut dalam korupsi dan menjadi kian elitis.
Sejatinya seorang intelektual (baca: terpelajar, terdidik) tidak sepantasnya berdiam diri ketika terjadi kesewenang-wenangan. Seharusnya mereka mau dan bisa menggerakkan perlawanan. Atau setidaknya mencoba membuat dunia alternatif (skala komunitas atau gerakan social dalam skala yang lebih luas) yang bisa terbebas dari logika kapitalisme.
Ada beberapa karakteristik intelektual, setidaknya yang bisa saya tangkap dari buku ini yaitu, pertama keresahan melihat ketimpangan sosial. Antonia Gramsci, Che Guevara, Rosa Luxemburg, Sayyid Qutb dan Ali Syariati tidak ada perbedaan dalam hal ini. Dengan kata lain menurut Ali Syariati, tanggung jawab pokok seorang intelektual adalah mengetahui, memahami dan mengenal dengan baik kondisi masyarakat sekitarnya untuk kemudian menanamkan dalam alam pikiran publik semua konflik, pertentangan dan antagonisme yang ada dalam masyarakat, (Hal.09).
Kedua, kecintaan pada kebenaran dan memperjuangkannya. Ketiga, cita akhir perjuangan adalah keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan. keempat, kesederhanaan dan terakhir tidak ada ketakutan sedikitpun pada kematian. [2]


Pada bagian ketiga buku ini, menceritakan tentang Kekuasaan dan robohnya nyali intelektual. Kekuasaan kerap menyimpan dusta dan keji. Dalam kekuasaan tersimpan logika setan, rebut-pertahankan-rebut-pertahankan. Didalamnya ada upaya untuk “merawat diri”, dipercantik dengan slogan dan pencitraan-pencitraan ilusi. Dan kaum intelektual lagi-lagi berperan strategis. Mereka mnjadi ahli politik yang berbicara tentang demokrasi, memberi label/legitimasi/cap bahwa pemilu adalah media yang sngat demokratis, indomesia adalah Negara demokratis… benarkah demikian?. Jika demikian adanya demokrasi itu berbanding lurus dengan kemiskinan, penderitaan, penggusuran dan pengangguran. Jika kita alergi politik. Atau jangan-jangan kita sependapat dengan para pakar ekonomi yang memiliki “iman” pro pasar. Pertumbuha ekonomi dinilai dari seberapa besar investasi, kuantitas tenaga kerja yang terserap stabilitas nilai kurs mata uang. Lalu, bagaimana dengan akses pendidikan warga, jaminan kesehatan, dan tempat tinggal bagi warga.
Sudah saatnya kita curiga pada ekonom dan politisi dan ilmuan-ilmuan kampus yang mengajarkan cara membunuh dengan halus, lewat teori dan data. Saatnya juga kita pertanyakan demokrasi perwakilan yang seolah berbanding lurus dengan penderitaan masyarakat Indonesia. [3]
Dibagian empat buku ini, Eko memberikan deskripsi lewat beragam referensi tentang kelima tokoh yang terlibat dalam gerakan militant.
Dipilihnya lima intelektual progresif itu bukan tanpa alasan. Semua intelektual di atas merupakan sosok intelektual ideal. Yang tidak takut terhadap kematian, penderitaan, dan tidak ngiler ketika dihadapkan dengan kemashyuran demi memperjuangkan tiga tuntutan besar; keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan. Antonio Gramsci karena kegigihannya berjuang harus rela mati dipenjara; Sayyid Qutb dihukum gantung; Ali Syariati yang ditusuk pisau; Che Guevara yang meregang jiwa oleh peluru pasukan Bolivia dan Rosa Luxemburg yang dipukuli kepalanya berulang-ulang oleh musuh dan akhirnya ditembak dengan keji. Tapi semua penderitaan itu tidak selangkahpun menyurutkan niat mereka menyadarkan massa mengenai penindasan dan menggelorakan sebuah perlawanan.
Pada masa pra kemerdekaan negeri ini mencatat banyak kaum intelektual yang pro rakyat yang lahir dari rahim dunia pendidikan. Sebut saja Tan Malaka, Soekarno, KH Agus Salim, Syahrir, Tirto Adhi Suryo, Mas Marco, dan banyak lagi. Mereka mendedikasikan pengetahuan yang mereka dapat dari bangku sekolah untuk kepentingan masyarakat, untuk menggagas kemandirian dan kemerdekaan sebuah bangsa meski penjara dan kematian dari pihak kolonial terus menjadi ancaman setiap jengkal langkah mereka.

ada baiknya menimbang kembali peran kaum intelektual sebagaimana yang diuangkapkan oleh Noam Chomsky dalam language and politics, 1988), bahwa, salah satu tanggungjawab terpenting kaum intelektual adalah '.. mengungkapkan kebohongan-kebohongan pemerintah, menganalisa tindakan-tindakannya sesuai dengan penyebab, motif-motif serta maksud-maksud yang tersembunyi itu dibalik tindakannya.
diresensi oleh zukoz3n

Posted in