"MANTRA" EKONOMI SBY

(6.21.2011)

Pro growth, Pro-poor, Pro-job adalah strategi kebijakan ekonomi pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) periode pertama, lalu disempurnakan dengan pro-environment pada periode kedua. Berbagai upaya pun dilakukan oleh tim ekonomi KIB untuk mewujudkan pembangunan ekonomi seperti yang disampaikan oleh Susilo Bambang Yudodyono (SBY) disetiap acara dan forum-forum ekonomi. Pada pertemuan World Economic Forum di Jakarta, oleh IMF ekonomi Asia diprediksi akan tumbuh 7 hingga 9%, bencana Tsunami di Jepang dan krisis Timur tengah tidak akan berpengaruh banyak terhadap pertumbuhan ekonomi di Asia. Sedangkan Pertumbuhan ekonomi Indonesia diyakini bisa sampai 7-8 persen, asalkan Indonesia bisa mengatasi masalah infrastruktur dan menciptakan efisiensi birokrasi.
Pertumbuhan ekonomi yang didorong sektor
non-tradable, seperti sektor keuangan, jasa, real estate, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan, hotel, restoran. Pada 2010, sektor transportasi dan komunikasi tumbuh 13,5 persen, disusul perdagangan/hotel/restoran (8,7 persen), konstruksi (7 persen), jasa (6 persen), serta listrik, gas, dan air (5 persen). Sebaliknya, sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) berkinerja rendah. Pertanian hanya tumbuh 2,9 persen, pertambangan dan penggalian 3,5 persen. (Tempo,10/05/2011).

Capain ini mesti diapresiasi dengan baik, dengan berbaik sangka pada niat baik pemerintah untuk meningkatkan perekonomian kita. Namun setiap capaian angka-angka sebaiknya diuji secara empirik di ranah realitas. Data Tempo menunjukkan bahwa, secara agregatif perekonomian kita tumbuh secara signifikan, dalam hal ini strategi pro-growth dapat terealisasi. Namun bagaimana dengan mantra pro-poor dan pro-job. Oleh banyak ekonom menilai bahwa pertumbuahan ekonomi yang dicapai pemerintaha pada kuartal I 2011, masih dinilai timpang. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan tidak secara signifikan menekan angka kemiskinan dan menyerap tenaga kerja.

Ketimpangan pertumbuhan sektor tradable vs non-tradable memiliki implikasi serius karena terkait dengan pembagian jatah dan surplus ekonomi. Sektor non-tradable bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan serta pelakunya segelintir. Karena itu, penyerapan tenaga kerja sektor nontradable jauh lebih kecil dibandingkan sektor tradable. Sehingga, Tingkat pertumbuhan yang diikuti menurunnya penyerapan tenaga kerja merupakan pertumbuhan yang timpang minus kesejahteraan. Pertumbuhan justru memperlebar kesenjangan: yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Jika dilihat secara geografis, maka akan nampak bahwa pertumbuhan yang didorong oleh sektor non-tradable, lebih berorientasi pada pembangunan ekonomi kota. Hal yang sama bisa disaksikan di Makassar yang sangat konsen pada pengembangan sektor jasa, perdagangan, real estate, hotel, transportasi komunikasi dan restoran. Sektor yang kebanyakan hanya bisa dijangkau oleh masyarakat menengah keatas yang tentunya bermukim di kota. Padahal faktanya bahwa kebanyakan masyarakat dengan pendapatan dibawah $ 2/hari tinggal di pedesaan. Warga desa yang pada umumnya menggantungkan hidupnya dengan bertani ternyata belum bisa menikmati dengan baik capain pertumbuhan tersbut.

SBY dalam berbagai kesempatan sering mengklaim kemiskinan terus menurun secara agregatif dari 35,1 juta (2005), 31,02 juta jiwa (2010).Tapi, dengan garis kemiskinan Rp 210 ribu per orang per bulan, kita bisa mempertanyakan kualitas hidup seperti apa yang dijalani warga miskin. Data-data juga menunjukkan, sebagian besar rumah tangga petani (73,4 persen) adalah petani padi atau palawija. Arah pembangunan ekonomi yang didominanasi sektor industri/jasa daripada sektor primer (pertanian) sekitar 43 persen warga, terutama di pedesaan. Hal ini menggambarkan dua hal sekaligus yaitu sebagian besar petani miskin, dan sebagian besar orang miskin itu petani. Padahal studi LIPI dalam kurun waktu 1983 sampai 2009 menunjukkan bahwa sektor industri dan pertanian mampu menekan angka kemiskinan. Sektor ini 6,5 kali lipat lebih berperan daripada sektor non tradeble. Andai saja tim ekonomi KIB, ingin belajar pada riset LIPI maka mungkin mantra pro-growth akan berbanding lurus dengan pro-poor, pro-job.
Paul Krugman, peraih Nobel 2008 bidang ekonomi, tepatnya Ekonomi- Geografi telah memperingatkan bahwa terjadi ketidakadilan dalam proses pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi selama ini terjadi karena penambahan input berupa akumulasi modal dan tenaga kerja, dan bukannya peningkatan output (produksi). Penggunaan input yang berlebihan tidak dibarengi dengan kenaikan output per satuan input, hal itu menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak akan bertahan lama dan sangat rentan terhadap gejolak eksternal. Dengan kata lain, jika penambahan/ akumulasi modal secara terus-menerus dan perputarannya sebagian besar hanya di kota maka ketimpangan dan kesenjangan akan semakin tajam, pengangguran, kemiskinan akan meroket.
Mungkin ada benarnya anjuran para ekonom kita seperti yang pernah di gagas oleh founding father/mother bangsa ini. Bahwa pembangunan ekonomi mestinya diarahkan untuk kemakmuran rakyat. "Rakyat" yang belum bisa menikmati pertumbuhan ekonomi. Yang belum tersentuh efek sektor non-tradable. Dan bukan mereka yang bicara tentang kebijakan untuk "Rakyat".
Mengakhiri tulisan ini saya mengutip pesan Karaeng Pattingalloang, "Tallu Tongi Rupanna Panggaukang Ri se'rea Tumapparenta Angerangnga Kapangrakang: Pertama, Punna Addanggangmo Tumapparenta, Kedua. Punna Annarimamo Passoso', Ketiga. Punna Teyamo Annarima Pappasaile Tumapparenta. Artinya; Ada tiga perbuatan pemerintah yang bisa menyebabkan kerusakan: Pertama. Jika pemerintah sudah berdagang, Kedua. Kalau pemerintah menerima sogok dalam melakukan kebijakan, ketiga. Jika pemerintah tadak mau lagi menerima nasihat.
Wallahu' A'lam Bissawab.
salam hangat: alamyin@gmail.com

Posted in Label: ,