Jejaring Sosial dan Kecintaan Eksistensial. "Aku ingin bebas! Aku berharap untuk berbahagia! Aku ingin mengapresiasikan semua keindahan dunia................. "(B. Traven: The life behind the legends)

Kamu punya akun FB , Twitter, Skype, Pin BB, YM, GTalk ?. Pertanyaan umum yang sering dilontarkan oleh seseorang ketika kenalan dengan orang lain di ruang publik, di tempat seminar, di sekolah, di kampus, di kantor, di mall, di kafe dan lain-lain. Ada kesan ingin memperdalam pertemanan di dunia yang lebih luas, dunia jejaring sosial, dunia tanpa pemerintah, tanpa hirarki yang ketat... realsinya cukup sederhana admin-user, root-user. Pengawasnya hanya server penyedia jejaring sosial :), ataupun admin tempat kamu mengakses internet (wifi/warnet), atau provider langganan Anda yang mengetahui aktifitas kamu di dunia virtual yang sering kita anggap "aman". dan tentunya pasti Tuhan yang maha kuasa yang tak pernah lalai memantau aktifitas kita.

Tahap selanjutnya setelah perkenalan tersebut, kita akan berinteraksi satu sama lain. Kemudaian membuat grup, weblog keroyokan berbasis kesamaan selera atau hobby. Kolektifitas berbasis etnis, ide, almamater, dan  sebagainya.  Dengan akun user dan join di suatu group (komunitas) seolah solidaritas mudah digapai. Misalnya, ketika user menshare rasa bahagia yang lain seolah iku bahagia, menshare 'kegalauan', 'kesedihan' yang lain juga seolah merasa sedih. Keakraban yang bersemai di jejaring sosial mempunyai ciri tersendiri. menyebar lebih cepat dan sedikit liar tak terkontrol. :). Bahkan dalam banyak kasus terjalin kisah asmara hingga ke pelaminan ...hmmmm asiek skali... Salah satu indikator keakraban atau ingin mengakrabkan diri adalah intensitas 'Like" "comment" di akun seseorang atau di group. Bahkan orang yang sangat tertutup di dunia nyata, bisa sangat "open" di jejaring sosial.

Tulisan sederhana ini tidak dalam rangka membahas manfaat jejaring sosial, hanya sekedar berbagi seputar ide solidaritas dan cinta yang mungkin sedikit berbeda dengan solidaritas di group jejaring sosial Anda. Sekaligus sebagai otokritik terhadap diri sendiri dan terhadap dunia yang sering kita lakoni hampir 24 jam "dunia virtual".

Solidaritas, atau saling menolong merupakan salah satu kunci meraih kebahagiaan. Hal ini merupakan hubungan individu dan sosial, sarana yang digunakan individu untuk dapat bekerja sama memenuhi kepentingan bersama dalam sebuah lingkungan yang mendukung dan memelihara baik kebebasan maupun kesetaraan. Saling menolong merupakan ciri-ciri dasar kehidupan manusia, sumber dari kekuatan dan kebahagian serta sebuah syarat yang fundamental bagi eksistensi manusia seutuhnya.

Erich Fromm, seorang psikolog dan ahli sosial humanis menunjukkan bahwa “keinginan manusia untuk berkumpul dengan yang lain berakar dalam kondisi khusus eksistensi yang mencirikan spesies manusia dan merupakan salah satu motifasi terkuat dari tingkah laku manusia.”

Perkumpulan atau persatuan atau group, seharusnya didasarkan pada kesetaraan dan individualitas untuk benar-benar memuaskan mereka yang bergabung di dalamnya—contoh, mereka harus diatur dalam sebuah cara yang tanpa aturan, sukarela, terdesentralisasi, dan non hierarkis. Kalau diperhatikan, kenapa orang lebih betah berlama-lama di depan layar monitor, ketawa sendiri :D, senyum-senyum sendiri, seolah-olah sedih,   'kodong', kasihan spontan diekspresikan. User yang awalnya hanya sekedar iseng main di suatu jejaring sosial, akhirnya menyatu dengan dunia barunya, dan ia pun mengekspresikan kebebasan dan kecintaan terhadap dirinya secara bebas. Potensi dan bakat terpendam berani di eksplore di dunia virtual. Pakaian yang dipakai, makanan hari ini, belanja hari ini hingga jalan dengan siapa hari ini :) di ekspose secara bebas. Bahkan saya pernah iseng memantau akun seorang teman, hampir 90% statusnya tentang 'kegalaunnya', tentang perasaannya, ada juga sepanjang hari pamer tentang konsumsinya, ada juga yang heboh dengan idolanya, dan masih banyak lagi. Sekalai lagi, awalnya mungkin iseng namun akhirnya menyatu dengan dunia tersebut, ia telah menjadi bagian dari diri kita. Dia telah menjadi perpanjangan tangan Anda dalam upaya merengkuh kebahagiaan. itulah sihir jejaring sosial.

Apa indikatornya, kalau Anda atau saya telah menyatu dengan akun jejaring sosial. Sederhana, kalau ada yang 'Like" "Comment" "Share" status/ postingan Anda, maka Anda merasakan 'bahagia' jika hal itu sesuatu yang baik dan kita merasa tertolong. Anda Merasa  'galau', 'sedih' jika ada komentar kurang menyenangkan, mengejek atau melecehkan Anda. Itulah cara sederhana bagaimana proses penyatuan diri Anda dengan jejaring sosial. Ini, tentu tidak berlaku untuk semua user, tetapi dominan dari user mengalami hal yang sama. Ada sebuah kecintaan mengekspresikan diri, itulah yang disediakan jajaring sosial, sebuah jejaring tanpa hirarki dan sukarela.

Mimpi saya adalah, bagaimana mentransformasikan kekuatan kolektif jejaring sosial menjadi kekuatan cinta yang lebih besar, yang bukan hanya sekedar ekpresi kecintaan diri yang egosentris, tetapi mampu menjadi kekuatan cinta eksistensial sejati. Cinta yang paling berharga, Seperti kutipan berikut ini.

“Cinta yang paling berharga, sejati dan murni dalam umat manusia adalah mencintai diri sendiri. Aku ingin bebas! Aku berharap untuk berbahagia! Aku ingin mengapresiasikan semua keindahan dunia. Namun kebebasanku hanya diperoleh ketika melihat orang lain disekelilingku bebas. Aku hanya dapat berbahagia ketika semua orang disekelilingku berbahagia. Aku hanya akan bersuka ria ketika semua orang yang aku lihat dan temui di dunia matanya penuh dengan kegembiraan. Dan aku hanya dapat makan kenyang dengan kebahagiaan sesungguhnya ketika aku tahu pasti bahwa orang lain juga makan dengan kenyang seperti halnya diriku. Dan karena alasan itulah, menjadi sesuatu yang menyenangkan diriku, hanya bagi diriku sendiri, ketika aku memberontak melawan setiap bahaya yang mengancam kebebasan dan kebahagiaanku....”
[Ret Marut (a.k.a. B. Traven), majalah The BrickBurner dikutip oleh Karl S. Guthke, B. Traven: The life behind the legends, hal 133-4].

Menurut hemat saya, kecintaan diri sendiri akan lebih indah jika ia berhasil menerobos batas diri sendiri, bahwa tidak ada 'yang lain', bahwa kamu, Anda adalah diri saya yang lain.
WAB. @alamyin, keep share and enjoy !

Posted in Label: ,

"MANTRA" EKONOMI SBY

(6.21.2011)

Pro growth, Pro-poor, Pro-job adalah strategi kebijakan ekonomi pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) periode pertama, lalu disempurnakan dengan pro-environment pada periode kedua. Berbagai upaya pun dilakukan oleh tim ekonomi KIB untuk mewujudkan pembangunan ekonomi seperti yang disampaikan oleh Susilo Bambang Yudodyono (SBY) disetiap acara dan forum-forum ekonomi. Pada pertemuan World Economic Forum di Jakarta, oleh IMF ekonomi Asia diprediksi akan tumbuh 7 hingga 9%, bencana Tsunami di Jepang dan krisis Timur tengah tidak akan berpengaruh banyak terhadap pertumbuhan ekonomi di Asia. Sedangkan Pertumbuhan ekonomi Indonesia diyakini bisa sampai 7-8 persen, asalkan Indonesia bisa mengatasi masalah infrastruktur dan menciptakan efisiensi birokrasi.
Pertumbuhan ekonomi yang didorong sektor
non-tradable, seperti sektor keuangan, jasa, real estate, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan, hotel, restoran. Pada 2010, sektor transportasi dan komunikasi tumbuh 13,5 persen, disusul perdagangan/hotel/restoran (8,7 persen), konstruksi (7 persen), jasa (6 persen), serta listrik, gas, dan air (5 persen). Sebaliknya, sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) berkinerja rendah. Pertanian hanya tumbuh 2,9 persen, pertambangan dan penggalian 3,5 persen. (Tempo,10/05/2011).

Capain ini mesti diapresiasi dengan baik, dengan berbaik sangka pada niat baik pemerintah untuk meningkatkan perekonomian kita. Namun setiap capaian angka-angka sebaiknya diuji secara empirik di ranah realitas. Data Tempo menunjukkan bahwa, secara agregatif perekonomian kita tumbuh secara signifikan, dalam hal ini strategi pro-growth dapat terealisasi. Namun bagaimana dengan mantra pro-poor dan pro-job. Oleh banyak ekonom menilai bahwa pertumbuahan ekonomi yang dicapai pemerintaha pada kuartal I 2011, masih dinilai timpang. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan tidak secara signifikan menekan angka kemiskinan dan menyerap tenaga kerja.

Ketimpangan pertumbuhan sektor tradable vs non-tradable memiliki implikasi serius karena terkait dengan pembagian jatah dan surplus ekonomi. Sektor non-tradable bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan serta pelakunya segelintir. Karena itu, penyerapan tenaga kerja sektor nontradable jauh lebih kecil dibandingkan sektor tradable. Sehingga, Tingkat pertumbuhan yang diikuti menurunnya penyerapan tenaga kerja merupakan pertumbuhan yang timpang minus kesejahteraan. Pertumbuhan justru memperlebar kesenjangan: yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Jika dilihat secara geografis, maka akan nampak bahwa pertumbuhan yang didorong oleh sektor non-tradable, lebih berorientasi pada pembangunan ekonomi kota. Hal yang sama bisa disaksikan di Makassar yang sangat konsen pada pengembangan sektor jasa, perdagangan, real estate, hotel, transportasi komunikasi dan restoran. Sektor yang kebanyakan hanya bisa dijangkau oleh masyarakat menengah keatas yang tentunya bermukim di kota. Padahal faktanya bahwa kebanyakan masyarakat dengan pendapatan dibawah $ 2/hari tinggal di pedesaan. Warga desa yang pada umumnya menggantungkan hidupnya dengan bertani ternyata belum bisa menikmati dengan baik capain pertumbuhan tersbut.

SBY dalam berbagai kesempatan sering mengklaim kemiskinan terus menurun secara agregatif dari 35,1 juta (2005), 31,02 juta jiwa (2010).Tapi, dengan garis kemiskinan Rp 210 ribu per orang per bulan, kita bisa mempertanyakan kualitas hidup seperti apa yang dijalani warga miskin. Data-data juga menunjukkan, sebagian besar rumah tangga petani (73,4 persen) adalah petani padi atau palawija. Arah pembangunan ekonomi yang didominanasi sektor industri/jasa daripada sektor primer (pertanian) sekitar 43 persen warga, terutama di pedesaan. Hal ini menggambarkan dua hal sekaligus yaitu sebagian besar petani miskin, dan sebagian besar orang miskin itu petani. Padahal studi LIPI dalam kurun waktu 1983 sampai 2009 menunjukkan bahwa sektor industri dan pertanian mampu menekan angka kemiskinan. Sektor ini 6,5 kali lipat lebih berperan daripada sektor non tradeble. Andai saja tim ekonomi KIB, ingin belajar pada riset LIPI maka mungkin mantra pro-growth akan berbanding lurus dengan pro-poor, pro-job.
Paul Krugman, peraih Nobel 2008 bidang ekonomi, tepatnya Ekonomi- Geografi telah memperingatkan bahwa terjadi ketidakadilan dalam proses pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi selama ini terjadi karena penambahan input berupa akumulasi modal dan tenaga kerja, dan bukannya peningkatan output (produksi). Penggunaan input yang berlebihan tidak dibarengi dengan kenaikan output per satuan input, hal itu menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak akan bertahan lama dan sangat rentan terhadap gejolak eksternal. Dengan kata lain, jika penambahan/ akumulasi modal secara terus-menerus dan perputarannya sebagian besar hanya di kota maka ketimpangan dan kesenjangan akan semakin tajam, pengangguran, kemiskinan akan meroket.
Mungkin ada benarnya anjuran para ekonom kita seperti yang pernah di gagas oleh founding father/mother bangsa ini. Bahwa pembangunan ekonomi mestinya diarahkan untuk kemakmuran rakyat. "Rakyat" yang belum bisa menikmati pertumbuhan ekonomi. Yang belum tersentuh efek sektor non-tradable. Dan bukan mereka yang bicara tentang kebijakan untuk "Rakyat".
Mengakhiri tulisan ini saya mengutip pesan Karaeng Pattingalloang, "Tallu Tongi Rupanna Panggaukang Ri se'rea Tumapparenta Angerangnga Kapangrakang: Pertama, Punna Addanggangmo Tumapparenta, Kedua. Punna Annarimamo Passoso', Ketiga. Punna Teyamo Annarima Pappasaile Tumapparenta. Artinya; Ada tiga perbuatan pemerintah yang bisa menyebabkan kerusakan: Pertama. Jika pemerintah sudah berdagang, Kedua. Kalau pemerintah menerima sogok dalam melakukan kebijakan, ketiga. Jika pemerintah tadak mau lagi menerima nasihat.
Wallahu' A'lam Bissawab.
salam hangat: alamyin@gmail.com

Posted in Label: ,

HANYA SEBUAH SURAT

(3.24.2011)

Kepada
Rekan-rekan, kawan-kawan, saudara/saudari, adik-adik, kakak-kakak
Mahasiswa/i

Yang Terhormat


Apa kabar ?
Semoga kalian sehat-sehat saja dan senantiasa berada dalam kondisi yg baik-baik saja.

Ok, saya pikir basa-basi diatas sudah cukup dan sudah sesuai standar pembuka sebuah persuratan resmi kalau pun ternyata belum memenuhi standar saya minta maaf.
Baiklah, kita langsung ke pokok permasalahan. Jujur saya katakan bahwa sekarang saya bigung melihat kalian. Dulu mungkin saya masih bisa berprasangka baik pada kalian, kalian itu cerdas … atau revolusioner … bahkan mungkin radikal. Tapi itu dulu, sekarang saya tidak bisa lagi … sekarang saya tak yakin lagi dengan apa yang dulu saya sangkakan atas kalian. Hal ini wajar saja jika bercermin dari kasus “Benteng Somba Opu”. Bisa dimaklumi kalau kalian tidak peduli dengan perampasan tanah petani takalar atau perampasan tanah masyarakat pandang raya, tapi tentu lain halnya dengan “Benteng Somba Opu” (meski sebenarnya kasus-kasus ini tidak bisa dilihat saling terpisah karena sebenarnyalah secara substansial adalah satu kesatuan). Coba kalian beri sedikit ruang pada ingatan anda, sudah berapa kali “Benteng Somba Opu” kalian manfaatkan untuk berbagai kepentingan ? Kalau kalian tidak bisa menyebutkan minimal “satu kali” maka sebaiknya anda segera konsultasi ke dokter ahli saraf atau psikiater karena saya yakin anda mengalami gangguan ingatan yang akut. Jika kalian tak mampu lagi menganalisa secara menyeluruh paling tidak kalian tahu diri, kalian seharusnya sadar betapa kalian berhutang budi pada “Benteng Somba Opu” … dan seharusnya kalian malu jika tinggal diam dan berpangku tangan melihat “Benteng Somba Opu” dirampas dari kita, dan diubah dari “Ruang Publik Terbuka” menjadi “Ruang Publik Berbayar - sengaja memakai istilah ini untuk menghindari penyebutan privatisasi”.
Jika terhadap “Benteng Somba Opu” (sebagai ruang publik terbuka, tempat belajar) saja kalian tidak peduli, maka saya ragu jika kalian masih punya kepekaan sosial dan rasa tanggung jawab terhadap keberlangsungan kehidupan ini.

Oh iya, sebelum saya mengakhiri surat ini saya ingin mengatakan kepada kalian … sebelum kalian menilai dan menduga-duga kepentingan saya, saya katakan kepada kalian bahwa “tak ada kepentingan politik dibalik ini semua, semua ini hanyalah sebentuk ungkapan rasa tanggung jawab dan upaya membayar hutang budi saya kepada “Benteng Somba Opu” yg telah memberi saya tempat untuk belajar, yg telah memberi saya kesempatan untuk menghirup udaranya, yg telah memberi saya izin untuk menikmati pemandangan serta kesunyiannya. Dan terakhir, karena saya masih punya ingatan tentang kepingan-kepingan cerita tentang Benteng Somba Opu yg menjadi bagian dalam hidup saya.”


NB : Jangan berpikir kalau saya ini apa, saya bukanlah apa-apa. Terima kasih atas kesedian anda meluangkan waktu anda yang saya yakin sangat berharga untuk sekedar membaca tulisan ini. Sekali lagi TERIMA KASIH BANYAK.


Salam


Dari Sebuah Tempat Di Dunia Nyata

Posted in