Beberapa hari ini saya sering terperangkap dalam kerumunan massa yg sibuk berbelanja dan mengkonsumsi lagi dan lagi. Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini hampir semua (untuk tidak mengatakan semua) orang tahu bahwa konsumerisme [konsumsi-konsumsi-konsumsi, lagi-lagi-dan lagi (yg saat ini merupakan sesuatu yg sangat penting dalam kapitalisme)] atau hasrat berbelanja dan mengkonsumsi secara berlebihan adalah sesuatu yg buruk. Penggambaran yg buruk juga telah sangat sering disampaikan oleh para pendakwa-pendakwa agama dalam berbagai kesempatan dan berbagai media. Tak dapat pula dipungkiri kenyataan banyaknya buku yg membahas tentang keburukan dari konsumerisme. lalu, kenapa tetap saja realitas berbicara lain, kerumunan orang yg terjebak dalam kegilaan konsumsi bukanlah sesuatu yg susah untuk kita temui saat ini. Sepertinya ini bukan lagi sesuatu yg berada di wilayah akal karena jika masih berbicara soal akal maka tentu dengan pengetahuan akan keburukan konsumerisme (yg didapat dari buku-buku maupun dari dakwa-dakwa para ahli agama) tentu tingkat konsumerisme akan menurun tapi mengapa dengan pengetahuan yg dimiliki tak mampu menekan hasrat gila konsumsi ?

Sepertinya persoalan konsumerisme saat ini tidak lagi berada di wilayah akal melainkan sudah sampai di wilayah alam bawah sadar atau kejiwaan alias psikis orang. Hal ini bisa dibenarkan jika kita melihat peran penting iklan sebuah produk dalam persoalan pemasaran, iklan memang tidak memerintahkan untuk langsung mengkonsumsi apa yg di-iklan-kannya tapi iklan menanamkan sesuatu dalam alam bawah sadar orang-orang sehingga menjadi sebuah kondisi kejiwaan yg akhirnya menjadi sesuatu yg dibenarkan oleh akal. Jadi orang-orang yg konsumeris sebenarnya adalah orang-orang sakit jiwa yg harus mendapat penanganan seorang psikiater.

Tingkat konsumsi yg gila saat ini juga bukan lagi persoalan uang, bukan lagi persoalan berapa banyak uang yg dihabiskan untuk memenuhi hasrat konsumsi. Karena kalau persoalannya masih seputar uang maka faktanya adalah bukanlah mereka yg kaya (yg memiliki banyak uang) yg tingkat konsumsinya gila-gilaan tapi si miskin lah yg gila dalam hal konsumsi. mari kita lihat, si kaya mempunyai uang 5 juta kemudian dia membelanjakan untuk kebutuhan yg bersifat konsumerisme sebanyak 1 juta maka masih tersisa 4 juta untuk kebutuhan lainnya (diluar kebutuhan yg bersifat konsumerisme) sekarang mari kita lihat si miskin yg punya uang 1 juta dan untuk memenuhi hasrat konsumtifnya dia menghabiskan 500 ribu maka yg tersisa tinggal 500 ribu untuk kebutuhan lainnya diluar pemenuhan hasrat konsumtif. Nah, kalau kita berbicara soal uang maka 1 juta yg dipakai untuk memenuhi hasrat konsumtif si kaya hanyalah 1/5 dari uang yg dimilikinya sedangkan 500 ribu yg dibelanjakan si miskin adalah 1/2 atau setengah dari uang yg dimilikinya, nah dengan hitung-hitungan sederhana ini terlihat bahwa si miskin lah yg lebih konsumtif di banding si kaya. Dan solusi bodoh dari hitung-hitungan ini adalah "peningkatan penghasilan atau pendapatan atau kekayaan si miskin biar 500 ribu yg dibelanjakan itu tidak lagi 1/2 atau setengah dari kekayaannya (mungkin bisa berkuarang jadi 1/3 jika uang yg dimilikinya itu sebesar 1,5 juta) dan tentu bukan soal lagi jika si miskin membelanjakan uang sebesar 1 juta jika total uang yg dimilikinya sebesar 5 juta, tidak ada yg salah dari semua itu. Kelihatankan persoalannya jika hanya mengaitkan masalah konsumerisme dengan uang, masalahnya hanyalah persoalan kesempatan yg tidak ada, jika uang banyak apa salahnya jika saya makan di tempat makan cepat saji atau membeli baju kaos yg menjual merk, atau mengoleksi berbagai macam baju dan sepatu atau hal-hal sepeleh terkait dengan hobby alias kesenangan material.

Jadi persoalannya bukan persoalan UANG melainkan persoalan KEJIWAAN, sekali lagi persoalan KEJIWAAN.

atau bagaimana kah ?

tabe' di'

Posted in Label: , , ,