Tanggal 18 Desember 2010 diadakan diskusi terkait dengan kasus pengalihan fungsi Cagar Budaya Benteng Somba Opu (dari Tempat Wisata Sejarah menjadi Tempat Wisata Keluarga) oleh Pemerintah Propensi Sulawesi Selatan dan Zaenal Tayyeb sebagai Investor. Diskusi Publik ini diinisiasi oleh Forum Somba Opu (FSO) sebagai bagian dari agenda strategis dalam menolak pengalihan fungsi Cagar Budaya Benteng Somba Opu. Sebelumnya Forum Somba Opu telah melaporkan Gubernur dan Zaenal Tayyeb terkait masalah pengrusakan Cagar Budaya Benteng Somba Opu (BSO) akibat pembangunan Taman Wisata Keluarga Gowa Discovery Park (GDP).



Kasus BSO adalah Extra Ordinary Crime

Dari diskusi tanggal 18 Desember 2010 di Baruga Benteng Somba Opu, berdasarkan pemaparan salah satu pembicara yg melihat dari aspek hukum banyak terungkap fakta-fakta pelanggaran aturan dan undang-undang (salah satunya adalah Undang-Undang RI No 11 tahun 2010 Tentang Cagar Budaya). Hal senada juga terungkap dari pemaparan seorang aktivis perkotaan KPRM dan juga senada dengan penjelasan anggota KOPEL yg sempat hadir, menurut mereka pemerintah dan legislatif (DPRD Sul Sel) telah melakukan banyak pelanggaran prosedural terkait Proyek GDP. Selain melanggar aturan dan undang-undang, proyek GDP juga menjadi agen perusak budaya masyarakat sulawesi selatan yg digiring pada high modernity yg lebih mengedepankan pemenuhan hasrat kesenangan yang banal. Analisis teoritik penggiringan masyarakat sulawesi selatan pada high modernity dipaparkan oleh seorang sosiolog yg juga sempat hadir dan menjadi salah satu pembicara.


Proyek GDP & Perlawanan

Cagar Budaya BSO juga merupakan ruang publik terbuka bagi masyarakat sulawesi selatan yg masih tersisa, karena itu-lah pengalihan fungsi Cagar Budaya BSO lagi-lagi merupakan upaya perampasan ruang-ruang publik terbuka masyarakat demi keuntungan ekonimi yg sangat kapitalistik. Selain itu Cagar Budaya BSO tidak lagi hanya sekedar sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa, lebih dari itu ... Cagar Budaya BSO telah menjadi tempat belajar bagi siswa/mahasiswa/peneliti untuk mempelajaran sejarah peradaban umat manusia di sulawesi selatan, karena itu perlawanan terhadap upaya perusakan Cagar Budaya BSO adalah sebuah perjuangan demi Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan serta perlawanan terhadap perampasan ruang-ruang publik. Dari pemaparan para pembicara (Arkeolog, Aktivis Perkotaan, Sosilog, Ahli Hukum, Pemantau Legislatif, Budayawan, Seniman, dan masyarakat umum) terlihat dengan jelas alasan-alasan yg kuat terkait penolakan proyek GDP yang mengakibatkan kerusakan pada Cagar Budaya BSO.


Pemerintah/Pemerintahan Itu Korup

Salah satu pelajaran berharga dari dari kasus BSO adalah kita dapat melihat dengan jelas bagaimana sebuah kekuasaan yg bersetubuh dengan modal mencoba melibas habis semua ruang-ruang yang dalam logika kapitalistik dianggap tidak produktif. Pada kasus ini juga kita dapat melihat dengan jelas piramida terbalik relasi antara "penguasa-pemodal-rakyat" (dimana kepentingan rakyat selalu berada paling bawah) dipraktekkan dengan sangat baik. Kasus BSO juga menambah daftar pemerintahan korup yang berselingkuh dengan pemodal, perselingkuhan ini mengakibatkan kesimpulan karaktekter dasar pemerintah/pemerintahan semakin mengarah pada semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi.

Posted in Label: , , , ,

Beberapa hari ini saya sering terperangkap dalam kerumunan massa yg sibuk berbelanja dan mengkonsumsi lagi dan lagi. Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini hampir semua (untuk tidak mengatakan semua) orang tahu bahwa konsumerisme [konsumsi-konsumsi-konsumsi, lagi-lagi-dan lagi (yg saat ini merupakan sesuatu yg sangat penting dalam kapitalisme)] atau hasrat berbelanja dan mengkonsumsi secara berlebihan adalah sesuatu yg buruk. Penggambaran yg buruk juga telah sangat sering disampaikan oleh para pendakwa-pendakwa agama dalam berbagai kesempatan dan berbagai media. Tak dapat pula dipungkiri kenyataan banyaknya buku yg membahas tentang keburukan dari konsumerisme. lalu, kenapa tetap saja realitas berbicara lain, kerumunan orang yg terjebak dalam kegilaan konsumsi bukanlah sesuatu yg susah untuk kita temui saat ini. Sepertinya ini bukan lagi sesuatu yg berada di wilayah akal karena jika masih berbicara soal akal maka tentu dengan pengetahuan akan keburukan konsumerisme (yg didapat dari buku-buku maupun dari dakwa-dakwa para ahli agama) tentu tingkat konsumerisme akan menurun tapi mengapa dengan pengetahuan yg dimiliki tak mampu menekan hasrat gila konsumsi ?

Sepertinya persoalan konsumerisme saat ini tidak lagi berada di wilayah akal melainkan sudah sampai di wilayah alam bawah sadar atau kejiwaan alias psikis orang. Hal ini bisa dibenarkan jika kita melihat peran penting iklan sebuah produk dalam persoalan pemasaran, iklan memang tidak memerintahkan untuk langsung mengkonsumsi apa yg di-iklan-kannya tapi iklan menanamkan sesuatu dalam alam bawah sadar orang-orang sehingga menjadi sebuah kondisi kejiwaan yg akhirnya menjadi sesuatu yg dibenarkan oleh akal. Jadi orang-orang yg konsumeris sebenarnya adalah orang-orang sakit jiwa yg harus mendapat penanganan seorang psikiater.

Tingkat konsumsi yg gila saat ini juga bukan lagi persoalan uang, bukan lagi persoalan berapa banyak uang yg dihabiskan untuk memenuhi hasrat konsumsi. Karena kalau persoalannya masih seputar uang maka faktanya adalah bukanlah mereka yg kaya (yg memiliki banyak uang) yg tingkat konsumsinya gila-gilaan tapi si miskin lah yg gila dalam hal konsumsi. mari kita lihat, si kaya mempunyai uang 5 juta kemudian dia membelanjakan untuk kebutuhan yg bersifat konsumerisme sebanyak 1 juta maka masih tersisa 4 juta untuk kebutuhan lainnya (diluar kebutuhan yg bersifat konsumerisme) sekarang mari kita lihat si miskin yg punya uang 1 juta dan untuk memenuhi hasrat konsumtifnya dia menghabiskan 500 ribu maka yg tersisa tinggal 500 ribu untuk kebutuhan lainnya diluar pemenuhan hasrat konsumtif. Nah, kalau kita berbicara soal uang maka 1 juta yg dipakai untuk memenuhi hasrat konsumtif si kaya hanyalah 1/5 dari uang yg dimilikinya sedangkan 500 ribu yg dibelanjakan si miskin adalah 1/2 atau setengah dari uang yg dimilikinya, nah dengan hitung-hitungan sederhana ini terlihat bahwa si miskin lah yg lebih konsumtif di banding si kaya. Dan solusi bodoh dari hitung-hitungan ini adalah "peningkatan penghasilan atau pendapatan atau kekayaan si miskin biar 500 ribu yg dibelanjakan itu tidak lagi 1/2 atau setengah dari kekayaannya (mungkin bisa berkuarang jadi 1/3 jika uang yg dimilikinya itu sebesar 1,5 juta) dan tentu bukan soal lagi jika si miskin membelanjakan uang sebesar 1 juta jika total uang yg dimilikinya sebesar 5 juta, tidak ada yg salah dari semua itu. Kelihatankan persoalannya jika hanya mengaitkan masalah konsumerisme dengan uang, masalahnya hanyalah persoalan kesempatan yg tidak ada, jika uang banyak apa salahnya jika saya makan di tempat makan cepat saji atau membeli baju kaos yg menjual merk, atau mengoleksi berbagai macam baju dan sepatu atau hal-hal sepeleh terkait dengan hobby alias kesenangan material.

Jadi persoalannya bukan persoalan UANG melainkan persoalan KEJIWAAN, sekali lagi persoalan KEJIWAAN.

atau bagaimana kah ?

tabe' di'

Posted in Label: , , ,

"Asketis Homoseksual" Foucault bukan meminta disurutkannya penderitaan,
tetapi meminta kenikmatan yang jauh lebih melimpah.
David Halperin, Saint Foucault

Sekarang tanggal 18 Agustus 2010, ini bertepat 1 hari setelah peringatan hari "Kemerdekaan negara RI" dan juga masih dalam bulan ramadhan dan itu artinya orang-orang yg beragama islam sedang menjalankan ibadah puasa. Saya tidak akan membahas tentang "Hari Kemerdekaan" malas dan muak meski sebenarnya sama memuakkannya dengan hal yg kedua tapi karena ada sesuatu yg menarik untuk dibahas tentang puasa maka jadilah tulisan ini.

Menurut seorang teman puasa yg dilakukan orang islam dalam bulan ramadhan seperti sebuah parodi yg idiotik, kalau di pikir-pikir secara rasional dan dikaitkan dengan realitas yang ada saat ini maka memang sulit untuk menolak pernyataan teman itu. Coba kita liat, bagaimana tidak idiot kalau sebelum puasa kita makan seenak dan sekenyang mungkin saat sahur kemudian saat berbuka kita lagi-lagi makan sepuas, seenak, dan sekenyang mungkin lalu setelah berbuka kita beranggapan kita telah melaksanakan ibadah puasa.
Hohohoho ... lucu memang.

Kalau berpuasa hanya menahan nafsu (makan, minum, marah, keserakahan, sex yg dangkal) maka lebih baik memang tak berpuasa karena kalau kita berpuasa itu hanya akan merendahkan makna dan tujuan berpuasa. Kalau berpuasa hanya menahan nafsu maka pastilah tujuannya untuk melawan hawa nafsu, kenapa hawa nafsu ingin dilawan ? bukankah manusia itu hidup dari kumpulan-kumpulan nafsu yg saling terkait. Mungkin ada yang berkata tujuan puasa bukan untuk melawan atau menghilangkan nafsu tapi mengontrol hawa nafsu, tujuan yg bagus tapi mana mungkin mengontrol apa lagi menghilangkan hawa nafsu kalau sebelum dan setelah berpuasa hawa nafsu itu tetap terlayani secara gila-gilaan (alih-alih mengontrol apalagi menghilangkan, ini nantinya hanya akan membuat hawa nafsu semakin gila. lihatlah fenomena menjelang berakhhirnya bulan ramadhan dan lihat apa yang terjadi setelah bulan ramadhan, Puasa hanya omong kosong). Ada sesuatu yang lebih dari sekedar melawan hawa nafsu ketika kita berpuasa, yaitu upaya menikmati sebuah penderitaan dari pelarangan makan, minum, marah, dan hubungan sex, dengan sebuah tujuan pengingkaran terhadap dunia yg pada akhirnya mereka yang berpuasa tidak menjadi apapun alias tidak menjadi apa-apa atau "tidak ada" (nothing). Ketika telah "tidak ada" maka apalagi arti kesenangan hawa nafsu, semua tidak berarti lagi. Kalau pun tetap makan dan minum itu tidak lebih dari kebutuhan biologis (rasa lapar dan haus, bukan sebuah life style atau gengsi) bahkan tidak makan dan minum pun bukan lagi masalah yang penting. Amarah, bukan lagi menjadi sesuatu yang bisa meledak begitu saja ... tetapi menjadi sesuatu yang tak lebih dari sebuah ekspresi terhadap sesuatu. Sebagaimana rasa lapar dan haus, sex juga tidak lebih akan sekedar menjadi kebutuhan biologis penyaluran libido sex dan sekedar jalan bagi mereka yang ingin menciptakan pelanjut generasinya (untuk masalah pelanjut generasi, ini terkait dengan kelahiran dan kematian. sex akan menjadi sesuatu yang memiliki posisi yang sama dengan kematian, tidak seperti sekarang dimana sex dianggap sebagai suatu kesenangan sementara kematian dianggap bagian terpisah dan sangat menakutkan. Sex dan kematian menjadi sesuatu yang tak dapat dipisahkan dan keduanya mendapat posisi yang mulia dalam kehidupan).

Masih banyak lagi hal lebih dalam puasa yang jauh dari sekedar menahan hawa nafsu.
Jika tak menemukan makna lebih dari puasa (bukan sekedar menahan hawa nafsu) maka bersiap-siaplah untuk kecewa karena puasa akan menjadi sesuatu yang tak lebih dari tindakan idiotik (sebagaimana pernyataan teman diatas).

So ... ?
Satu yang pasti yaitu menjadi "tidak menjadi apa-apa" atau "tidak ada" alias "NOTHING"

~ sisipush ~

Posted in Label: ,

kosakata apa yang paling banyak dibincang oleh masyarakat kita kahir-akhir ini ?, mulai dari ibu-ibu di tempat arisan, pangkalan ojek dan sopir, di kantor-kantor, para mahasiswa hingga nenek-kakek yang sudah ompong sekalipun membicarakan kosakata "POLITIK". ya.. politik, media massa telah berhasil 'membooming-kan' praktik politik (baca;pemilu, pemilukada) melampaui gosip 'terpanas selingkuhan artis ' atau ulah 'selingkuh bupati dengan wakilnya' dan sejumlah kasus-kasus yang sempat hot dibincang di media cetak dan elektronik.

Politik dalam arti sederhana adalah suatu ikhtiar untuk mencapai tujuan. politik dalam arti sempit dan banyak di anut oleh para politisi adalah, bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan, dengan cara apapun, biasa disebut menghalalkan segala cara. nah, kalau memang begini kondisinya maka yang terjadi adalah persaingan, peperangan untuk meraih kekuasaan, akibatnya pasti ada yang menang, ada yang kalah. TIDAK mungkin terjadi win-win solution, NEVER kata Mario teguh.

politik itu seni, seni meraih dan mempertahankan kekuasaan, lebih tepat disebut strategi/taktis merebut kuasa. meskipun kerapkali seni dijadikan alat politisi, masih ingat kan, istilah seni untuk politik atau seni untuk seni,. benar yang mana ya..,. terserah penilaian Anda,tapi bagiku baik seni ataupun politik kalau ia telah membelenggu nalar dan imajinasi maka sebaiknya mencari alternatif agar nalar dan imajinasi bisa bebas-merdeka. :-P. Praktik memperebutkan kekuasaan bukan hanya terjadi di ruang negara, dalam praktik korporasi pun nampak. misalnya perang software antara Apple, microsoft, untuk menguasai pangsa pasar dan mearup untung tentunya.Bahkan generasi-generasi awal perang software yang terjadi kerap mempelintir kata-kata leonardo da Vinci, dalam film the Pirates of Silicon Valley, Steven Job (Apple) mengibarkan bendera bajak laut di depan kantornya (thinking_unsure).Tahukan bagaimana perilaku bajak laut.......!!!

lalu apakah kita mesti terjebak dan merelakan diri tenggelam dalam arena yang menjengkelkan bahkan memuakkan. menjengkelkan jika untuk mencapai tujuan (baca:kekuasaan)semata, fitnah dan kebohongan adalah santapan wajib oleh para politisi. Memuakkan jika para politisi itu memainkan dan mempermainkan IMAGINASI dan PIKIRAN kita, entah lewat Iklan ataupun media lainnya,di seret ke khayalan ilusi, janji-janji yang tak mungkin bisa mereka penuhi. lebih parah lagi dalam banyak kasus masyarakat kita dikonflikkan. Tujuannya bisa bermacam-macam, mengorbitkan(mempopulerkan) tokoh, atau militer perlu tambahan anggaran, atau mungkin dijadikan event oleh korporasi agar suatu regulasi(undang-undang) bisa berjalan mulus supaya media tidak sempat atau tidak menarik minat media meliput pembahasan undang-undang /aturan utamanya yang menyangkut harkat hidup orang banyak dan kontroversial (lihat hadirnya UU PMA, privatisasi air, migas dan pendidikan /BHP)serta kemungkinan-kemungkianan lain, yang kemungkinannya mendekati 99,9% ;-).

Politik memang kejam !,
demikian ungkap kebanyakan orang yang telah menjadi korban-korban politik. lalu, Adakah ruang politik yang tidak membutuhkan cost, korban yang besar. PASTI selalu ada solusi, demikian ajaran matematika.;-). Bukankah politik adalah seni mencapai tujuan. Seni itu indah, imajinatif, menggerakkan dan mampu menginspirasi banyak orang. Arena politik tidak mesti selalu dipanggung-panggung perebutan kekuasaan, politik juga bisa kita buat indah seindah cahaya rembulan di malam purnama, jika ia kita maknai sebagai ajang untuk memberi manfaat sebanyak mungkin kepada sebanyak-banyaknya orang, dimana kejujuran dan ketulusan adalah jubah kebesarannya. hal tersebut bisa kita wujudkan dalam praktik-praktik kolektif atau komunitas,organisasi mandiri, keluarga, dimana prinsip kerjasama kolektif, memberi manfaat, setiap orang bisa memberi saran usul dan rancangan kerja tanpa harus mengebiri hak individu orang yang "katanya demi kepentingan bangsa".Sebuah dunia tanpa tatanan kuasa-menguasai, tanpa WAKIL yang tak pernah mewakili kepentingan kita, tetapi brdasarkan kerelaan bekerjasama, karena tidak ada yang pantas menguasai atau mengontrol selain yang menciptakanMU.

Nah, jika politik kita maknai seperti paragraf terakhir di atas, maka setiap orang bisa berpolitik tanpa partai politik. Bisa berbuat baik kapan, dimana saja tanpa harus menunggu instruksi atasan, atau program kerja.
(nb, catatan kecil ini bisa dilanjutkan oleh siapa saja, pernah dimuat di zukozen.tk )

Posted in Label: , ,