Menjelang pergantian tahun, suasana di kios penguin sebutan untuk tempat ngumpul ‘komunitas tanah merah’. Tidak ada yang begitu istimewa setidaknya ada tiga aktivitas. Pertama beberapa senior-senior mantan pembesar organisasi mahasiswa Islam terbesar yang memesan aksesoris pemilu 2009. hal lain adalah service HaPe dan instalasi dan konsultasi Linux khusus yang baru migrasi. :-D

Sejenak tiga hal di atas tidak ada yang istimewa, karena kami memang hanya orang biasa-biasa yang kadang melakukan hal yang tak biasa. Ada yang menarik menurutku dari hal yang pertama diatas. Diskusi para caleg yang bertandang ke kios seolah mengukuhkan pandangan kami bahwa PARTAI POLITIK atau POLITISI AMAT SANGAT TIDAK BISA DIPERCAYA akan MEMPERBAIKI KEHIDUPAN KAMI(MUNGKIN JUGA KITA SEMUA). selaku pendengar yang baik, sekaligus mengamalkan ajaran sokrates yang mengatakan bahwa kita diberi 2 telinga untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara. Saya dan teman hanya senyum-senyum mendengar diskusi mereka tentang pembuatan regulasi yang _katanya memihak pada rakyat_, APBD pro rakyat. Sesekali kami co’do (komentar yang sedikit nyeleneh) mengomentari diskusi mereka.

Seorang caleg bertutur berpartai politik hanya sekedar main-main, dagang sapi apalagi sistem multi partai plus diperparah dengan kondisi masyarakat yang kebablasan memaknai demokrasi. jadi untuk perbaikan NONSENCE,. sejenak kuberpikir berapa banyak caleg yang mempunyai pikiran yang sama dengannya.

Demokrasi hanya dipahami sekedar memberi suara di tps…. Tidak..tidak…sungguh tidak. Kotak suara di TPS tidak mampu menampung mimpi-mimpi kami, kotak suara di tps nda cukup untuk demokrasi yang begitu luas. teman, sahabat dan senior bukannya kami ngga senang dengan cita-cita kalian untuk mewujudkan indonesia yang lebih, selamat berjuang. kami hanya belum bisa percaya dengan partai politik. lalu apa yang mesti diperbuat... ada teman yang bilang __mari kita lupakan PEMILU dan tidur lebih indah daripada ke TPS... he..he..he...

oia... yang mau melanjutkan tulisan ini,
silahkan kirim naskahnya ke rtmcode@yahoo.co.id atau che_aam@yahoo.co.id

Posted in

keUNIKan LINUX

(10.12.2008)


Pengguna LINUX makin bertambah dari hari kehari, sejumlah forum/ Open Source Movement semakin ramai, pelatihan seputar Linux lumayan banyak mulai dari pengenalan OSS hingga TOT. Postingan ini mungkin sangatlah sederhana, mungkin juga sudah ada yang pernah baca disumber lain seperti di InfoLINUX. Salah satu alasan kenapa tulisan ini diposting, karena banyaknya teman-teman yang bertanya tentang keUNIKan Linux.

Beberapa orang mengatakan bahwa Linux dapat diandalkan dan memiliki tingkat security yang cukup baik. Tambahan lain yaitu Linux yang relatif murah, mudah didapatkan di internet, dan secara periodik di'update' dengan periode yang cukup singkat dan dikembangkan dengan teknologi yang baru. Dengan kata lain Linux selalu mengikuti perkembangan teknologi computer

Linux gratis. Pikirkan Anda mendapat "minuman gratis". Linux itu 100% gratis, bukan shareware. Meminjam kopian Linux dan menggunakannya pun masih termasuk legal, atau membeli CD-ROM Linux dengan hanya mengganti biaya pembakaran CD dan mungkin beberapa benda lain (manual, aplikasi bonus, dukungan teknis dan lain-lain). Linux bahkan dapat diambil lewat Internet tanpa biaya tetapi akan menghabiskan waktu dan biaya pengambilan yang tidak murah

Linux siap pakai.
Sistem operasi lain memberikan aplikasi awal yang sangat sedikit, mungkin editor teks, aplikasi grafis sederhana dan beberapa permainan dan pengguna harus membeli aplikasi-aplikasi tambahan lainnya. Linux memberikan hampir semua yang pengguna butuhkan dan inginkan, antara lain: variasi editor teks, aplikasi grafis kompleks, browser, permainan, aplikasi kantor, aplikasi network, kompiler, video, audio dan masih banyak lagi dalam satu paket distribusi

Linux mudah diinstal. Pasti banyak orang yang protes mengenai hal ini karena mitos umum adalah Linux sangatlah sulit untuk diinstalasi, tetapi mungkin ini adalah Linux 3 atau 4 tahun lalu. Bacalah instruksi dengan baik dan ketahuilah jenis perangkat keras yang dipunyai maka Tidak ada hal yang menjadi sulit. Beberapa kesulitan dapat diatasi dengan berdiskusi antar pengguna Linux baik melalui mailing list atau pun menghubungi Kelompok Pengguna Linux di kota masing-masing.

Linux multitasking. Linux dapat menjalankan beberapa aplikasi dalam waktu yang sama dan masing-masing aplikasi juga dapat melakukan beberapa pekerjaan dalam waktu yang sama (multithreading)

Linux multiuser. Lebih dari satu orang dapat memakai Linux pada saat yang bersamaan dan hal ini tentunya dilakukan dalam lingkungan jaringan computer.

Linux handal. Linux dapat menangani situs web yang mendapat akses jutaan per hari. Dengan tambahan peralatan Linux dapat berkompetisi dengan superkomputer berharga jutaan dolar. Banyak komputer Linux yang berjalan selama tahunan tanpa pernah sekalipun crash dan ini menunjukkan kehandalannya.

Linux fleksibel. Linux tidak peduli apabila dipakai bukan dengan komputer terhebat di pasaran. Ia berjalan dengan baik dengan apapun yang ada misalnya dengan komputer 486 dan memori 8MB. Linux juga dapat berjalan dengan harddisk 50 MB tanpa grafis bahkan untuk sekedar perawatan Linux dapat berjalan dengan hanya satu disket saja

Linux kompatibel. Linux dapat dijalankan di berbagai jenis komputer seperti 386/486/Pentium PC, Macintosh dan PowerPC bahkan komputer Alpha dan SPARC. Linux juga mampu menangani multi prosesor dan mampu menangangi hampir semua kartu audio dan video. Linux dapat diinstalasi di harddisk berisi Windows/DOS (selama masih ada ruang sisa) dan tidak mempengaruhi kinerja keduanya. Linux punya tampilan grafis. Banyak orang (terutama reporter) sepertinya berpikir bahwa Linux itu tidak mempunyai tampilan grafis. Padahal tidak hanya mempunyai satu GUI (graphical user interfaceI), tapi Linux mempunyai lusinan GUI. Ingin tampilan seperti Windows 3X, Windows9X, atau Macintosh, Linux bisa menyediakannya.
Linux aman. Selain fakta keuntungan keamanan jaringannya, Linux juga aman untuk pengunaan rumahan. Hanya dengan beberapa persiapan sekuriti dan sistem rumahan akan aman terhadap virus, lagipula virus tidak dapat mengganggu banyak pada komputer Linux. Apabila pengguna menciptakan user account sendiri untuk penggunaan sehari-hari makan sangatlah mustahil untuk melakukan sesuatu yang bodoh seperti memformat harddisk tanpa sengaja.
Linux bebas. Tidak seperti sistem operasi pada umumnya, Linux adalah aplikasi gratis. Untuk tambahan penjelasan pertama diatas maka pikirkan "kebebasan berbicara". Linux disebarkan dengan kode program-nya. Mungkin ada yang berpikiran, "Untuk apa? Saya bukan pemrogram!" Tetapi dengan terdistribusinya kode pembuatan maka tidak ada pihak yang dapat mematikan Linux dengan alasan apapun

Linux tidaklah sempurna. Tidak akan jujur sebuah pernyataan apabila tidak mengungkapkan kelemahan. Dengan mengetahui kelemahan Linux maka pengguna dapat mengetahui sejauh mana Linux dapat dikembangkan dan jangan khawatir dari hari ke hari kelemahan Linux makin berkurang (terbukti dengan GUI Linux).

Pada umumnya UNIX dibuat untuk keperluan komputer yang akan didedikasikan sebagai SERVER, sedangkan Linux, tanpa melupakan keunggulannya dalam networking, Linux tetap terus mengembangkan diri sebagai Operating System sebagai Server, tetapi Linux juga mengembangkan diri ke arah Operating System yang mampu dijadikan sebagai Workstation.

semoga bermanfaat :-)

Posted in



Halo..halo.. semua.

Beberapa waktu yang lalu di MILIS RTMcode didiskusikan tentang “SELAMATKAN BUMI MULAI DARI DAPUR”. Dilanjutkan diskusi dengan beberapa teman baik melalui chating, share artikel yang dipublikasikan oleh media public ataupun blog komunitas dan pribadi. Seperti yang dilakukan oleh partisipan Ismail Amin yang menulis tentang “Vegetarian” ada juga yang memberi ide melalui shoutbox RTMCode. Rentetan diskusi akhirnya terkoneksi antara ide yang satu dengan yang lainnya dan menemukan titik simpulnya dalam term antikonsumerisme, vegetarian, komersialisasi, sainstek, simulacra dan lain-lain yang punya koneksi dengan kehidupan manusia. Berikut beberapa nukilan semoga dapat menjadi inspirasi untuk meraih hidup yang sebenarnya hidup.

“war is peace,
ignorance is strength,
freedom is slavery.

Slogan Big Brother dalam 1984, karya George Orwell

Di rumah-rumah sakit brengsek…

.. di rumah-rumah sakit orientasinya duit, banyak pasien menjerit karena biaya mencekik,

ngomong soal profesi uang yang diutamakan, janjinya kemanusiaan tapi ….

..ternyata sumpah dan janji hanyalah kata-kata, kau hianati negeri ini atas nama profesi. ternaya banyak penjahat berpakaian rapi,…

ternyata banyak penjahat dinegeri ini.

(benar-benar rumah sakit oleh MARJINAL)

Hedonisme rasa membungkam ratapan tubuh yang haus makanan sehat. Komersialisasi di era global adalah soal biasa. Tetapi ketika melibatkan jenis pangan dan pelayanan kesehatan paling dasar, apalagi menyangkut hidup mati orang, komersialisasi adalah sebuah kriminalitas.

GIZI GENERASI TELEVISI

SAYA terenyak ketika sopir taksi yang saya tumpangi mengeluh. Uang dua puluh ribu rupiah yang dibawanya pulang habis dalam sehari untuk jajanan kedua anaknya yang masih di bangku SD. Lebih mencengangkan lagi ketika ia menyebutkan berbagai merek jenis makanan kemasan yang menjadi favorit anak-anak itu. Mereka sudah tidak pernah mau menyentuh sayur kecuali dipaksa dan diancam.
Aneka rasa makanan dalam aneka kemasan menawan merambah warung-warung kecil.
Paha ayam dan irisan sayur hijau-cukup berupa gambar pada bungkusnya-serta pernyataan “diperkaya oleh mineral dan zat gizi” ampuh mendongkrak nilaijual. Padahal, kompleksitas kebutuhan gizi manusia jelas melampaui angka yang tertera. Pernah, seorang artis cilik dalam iklan televisi menepis buah jeruk asli demi dagangan terbarunya: serbuk minuman artifisial beraroma jeruk.

Masalah busung lapar pertama-tama adalah masalah ketidakadilan ekonomi. Situasi ini diperparah dengan terpesonanya pemerintah oleh investasi pelbagai produk industri pangan. Bukan hanya abai terhadap tanggung jawabnya menyediakan pangan bersubsidi bagi kaum miskin dan memberikan pendidikan pangan yang adil serta mendasar (baca: bebas kepentingan investasi produk industri pangan), pemerintah juga tidak lagi mencermati hasil- hasil penelitian tentang korelasi produk teknologi pangan dan dampaknya di kemudian hari.

Kenyang semu
Saat ini pemenuhan kebutuhan gizi manusia sehat bersumber dari alam tergilas keberingasan investasi industri pangan. Pasar banjir oleh refined foods dengan segala risikonya, termasuk meningkatkan penyakit kardiovaskuler, menekan daya kekebalan tubuh, mencetuskan reaksi peradangan tersembunyi dan rasa sakit kronis. Sudah bertahun-tahun Barry Sears- pakar biokimia dan nutrisi-menjadi musuh bebuyutan industri pangan Amerika Serikat karena pemaparannya.
Dengan minimnya pengetahuan tentang makanan sehat, bagaimana masyarakat dapat membuat pilihan bijak? Terpesona akan tayangan iklan makanan, bangsa yang kini lebih mahir menonton televisi ketimbang membaca menjadi ladang subur bagi tumbuhnya “makanan dagang”. Seorang ibu akan merasa lebih berdosa bila tak mampu membeli susu dan biskuit anjuran iklan ketimbang memberi dua potong tempe dan sepiring sayur bayam yang bisa dikonsumsi tiga kali sehari. Pernah seorang ibu miskin bersikukuh memberikan susu kaleng kepada anak balitanya. Jadilah satu sendok teh bubuk susu terlarut dalam dua ratus cc botol bayi!

Tidak ada kebijakan dan intervensi pemerintah saat ini yang sanggup membendung komersialisasi pangan menyesatkan, bahkan pantas dituding sebagai salah satu penyebab malnutrisi. Minimnya informasi mengenai sumber pangan sehat yang terjangkau semua lapisan jelas mencerminkan kekalahan food for health dalam perang melawan food for commerce yang tengah mengambil korban rakyat jelata.

Malnutrisi tidak lagi melanda mereka yang sungguh-sungguh miskin, tetapi juga yang miskin pengetahuan kesehatan sebenarnya, yang sirna oleh simulacra kecanggihan sains. Kita sibuk mencari virus baru atau mutasinya sebagai penyebab penyakit yang tiba-tiba mencuat menjadi perhatian massa. Mengapa tidak mencermati pertanyaan ini: Bagaimana daya tahan tubuh manusia diserang?

Bukan suatu kebetulan bahwa dalam rentetan penyakit virus-sebutlah SARS, flu burung, demam berdarah dengue, polio- ujungnya mendapat gong besar: busung lapar. Daya tahan kekebalan tubuh menderita secara kronis hingga anjlok ke titik paling rendah-dan saat itu serangan penyakit mendera.

Sirnanya keprofesian
Kita berada di puncak kejenuhan antara keserakahan dalam bentuk komersialisasi dan tuntutan alam yang senantiasa menghendaki kesetimbangan serta harmoni. Simulacra menggiurkan tengah “mengenyangkan” perut bangsa ini, dari lapisan massa yang “kurang berpendidikan” hingga mereka yang berprofesi pemberi
jasa pelayanan masyarakat. Berbagai masalah kesehatan tidak lagi ditangani melalui cara berpikir rasional yang dapat dipertanggungjawabkan. Pemenuhan prosedur menjadi jauh lebih utama.
Padahal, begitu banyak prosedur masih bertabrakan dengan berbagai kepentingan. Wajar jika seorang ibu perlu membawa pulang bayinya yang busung lapar dari rumah sakit hingga mati di rumah karena biaya rumah sakit sudah tak tertanggungkan. Rumah sakit dalam hal ini selalu tampak “benar”. Mereka
punya surat sakti: tanda tangan pasien menolak rawat atau “pulang paksa”. Apa pun alasannya. Sistem pelayanan kesehatan dan pemerintah pun terbebas dari
tanggung jawab moral.Kepentingan komersial meluluhlantakkan aspek moral dan pelayanan yang bersifat
lege artis (sesuai dengan keprofesian). Privatisasi Rumah Sakit Umum Daerah adalah fenomena terpentalnya pemerintah sebagai penyelenggara public service dalam kinerja infrastruktur, untuk lalu terperangkap dalam laissez faire.
Horornya: privatisasi dianggap dengan sendirinya “meningkatkan kualitas”.
Caranya, biarkan rumah sakit saling bersaing termasuk menjejalinya dengan alat kesehatan berteknologi canggih yang mengakibatkan biaya pelayanan melonjak.

Kemana akan pergi si miskin busung lapar?

Samsi Jacobalis, mantan Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, pernah mengatakan, sains makin didominasi teknologi, sedangkan teknologi makin didominasi motivasi mencari laba. Artinya, sains dan teknologi cenderung menjadi alat kekuasaan bisnis global. Adakalanya teknologi canggih digunakan bukan atas indikasi medik yang mutlak, melainkan demi pengembalian modal investasi alias kredit bank yang dpergunakan membeli alat itu.

Dalam “RS Indonesia Tak Siap Bersaing” (Kompas, 22/12/2004) tersingkap lebar testimoni memalukan. Nyawa manusia dipertaruhkan demi kepentingan-kepentingan yang sulit diterangkan.

Kriminalitas komersialisasi
Menangani busung lapar secara terpadu adalah satu hal. Tetapi tanpa keseriusan pendidikan yang adil tentang pangan sehat plus murah, terutama tanpa ketegasan pemerintah menangani komersialisasi pangan, ancaman malnutrisi tidak berhenti. Pemberdayaan masyarakat agar mampu menentukan dengan bijak kelangsungan hidupnya adalah kewajiban pemerintah yang tak bisa dielakkan. Bukan hanya menggratiskan biaya perawatan. Jika sehat, masyarakat tidak perlu rumah sakit.


Tentu saja ini mengandaikan media bersedia mendidik ulang selera pasar dan gaya hidup. Sumber protein bayi yang terbaik bukan biskuit dengan kemasan bergambar bayi montok kebule-bulean. Makanan instan yang didistribusikan saat bencana alam bukan dewa penolong modern ketimbang dapur umum zaman lauk tempe dan sayur asem. Bangsa ini memang sedang diracuni komersialisasi teknologi pangan.

gizi generasi televisi ditulis Tan Shot Yen Seorang Dokter, Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta


Posted in

(7.03.2008)


Karena sekarang banyak orang yang teriak "REVOLUSI !!!" maka kayaknya lagu Revolution-nya The Beatles harus di dengar lagi. Selain musiknya yang memang keren, lirik lagu ini juga radikal dan melampaui zamannya.
Tidak percaya ... Simak saja sendiri.



REVOLUTION

You say you want a revolution
Well you know
We all want to change the world
You tell me that it's evolution
Well you know
We all want to change the world
But when you talk about destruction
Don't you know you can count me out

Don't you know it's gonna be alright
Alright, alright

You say you got a real solution
Well you know
We don't love to see the plan
You ask me for a contribution
Well you know
We're doing what we can
But if you want money for people with minds that hate
All I can tell you is brother you have to wait

Don't you know it's gonna be alright
Alright, alright, al...

You say you'll change the constitution
Well you know
We all want to change your head
You tell me it's the institution
Well you know
You better free your mind instead
But if you go carrying pictures of Chairman Mao
You ain't going to make it with anyone anyhow

Don't you know know it's gonna be alright
Alright, alright

Alright, alright
Alright, alright
Alright, alright
Alright, alright



NB: Untuk kaum revolusioner, harap jangan tersinggung. Kalau tersinggung, yah sudahlah itu urusan anda.

Posted in

Ditengah banyak pengusaha-pengusaha asing yang berinfestasi di negeri ini, mengakibatkan banyak perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh pengusaha asing. Karena itulah maka kemunculan ide nasionalisasi aset-aset asing tentulah sebuah hal yang memang pantas hadir. Jika kita melihat sejarah maka kita akan menemkan fakta bahwa ide dan pelaksanaan nasionalisasi bukanlah hal yang baru. Dalam konteks indonesia, nasionalisasi pernah dilaksanakan pada era pemerintahan soekarno. Pegambil-alihan bank-bank belanda dan pabrik timah bangka adalah dua contoh nasionalisasi yang dilakukan oleh soekarno atas aset-aset asing. Di era soeharto, pengambil-alihan dan penguasaan aset-aset orang-orang cina oleh negara merupakan praktek dari ide nasionalisasi dalam konteks orde baru.


Secara sepintas tuntutan nasionalisasi adalah sebuah kemajuan berpikir dari para politisi setelah mengalami kemandulan pada tuntutan reformasi. Nasionalisasi sebagai reaksi atas proses kapitalisasi memang dapat memberikan harapan baru akan keadilan namun harus disadari bahwa nasionalisasi hanya akan memberikan harapan jika prasyarat-prasyarat nasionalisasi terpenuhi.
Kehadiran dewan-dewan pekerja yang akan menjadi pemilik dari aset-aset yang telah dinasioalisasi adalah salah satu syarat penting yang harus ada. Dengan adanya dewan-dewan pekerja maka nasionalisasi tidak akan berujung pada pengambil-alihan dan penguasaan aset-aset asing oleh negara. Jika pengambil-alihan dan penguasaan aset-aset asing oleh negara maka hal yang pasti tercipta adalah kapitalisme negara.
Sebelum dilaksanakan nasionalisasi, konsep nation (bangsa) harus jelas sehingga ketika kita berbicara tentang nasionalisasi maka kita tidak berbicara soal state (negara). Jika kita telah dapat memproporsionalkan pembicaraan nasionalisasi maka jelas kita akan berbicara seputar penguasaan aset-aset oleh rakyat dan bukan oleh negara. Penguasaan oleh rakyat ini kemudian akan menuntut adanya pembicaraan seputar pengelolaan, pembicaraan inilah yang mau tidak mau harus diselesaikan sebelum proses nasionalisasi dijalankan. Tanpa adanya konsep pengelolaan alternatif yang jelas maka kecenderungan yang muncul adalah kembalinya penguasaan oleh negara dan itu berarti jalan menuju kapitalisme negara akan kembali terbuka.

Posted in

Ketika para bangsawan sibuk berperang mengikuti nafsu keserahanan mereka guna memperluas daerah kekuasaan, mereka terus berdagang dan berdangan untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya. Akibat dari peperangan yang berkepanjangan para bangsawan kehabisan biaya, lalu mendekatlah mereka menawarkan bantuan biaya maka jadilah mereka sekutu yang baik dimana mereka sebagai penyandang dana untuk membiaya angkatan perang si bangsawan dengan imbalan diberikannya mereka keleluasaan dibidang perdagangan. Waktu terus berjalan hingga mereka semakin mapan dan menuntutlah mereka persamaan hak diwilayah politik yang berarti tuntutan untuk diberi peluang berkuasa secara penuh atas tatanan social, lahirlah sisem demokrasi yang terus berkembang hingga lahirlah mekanisme pemilihan umum dan itu berari terbukalah peluang bagi mereka untuk berkuasa. Karena memiliki sumber daya yang sangat besar hasil dari proses pengumpulannya yang sangat lama, akhirnya merekalah yang menjadi penguasa menyingkirkan para bangsawan.
Kini mereka telah menguasai alat-alat produksi dan kekuasaan telah berada di tangan mereka. Penguasaan alat-alat produksi dan kekuasaan itu rupanya tidak memuaskan mereka karena pengetahuan manusia belum dapat mereka kuasai dan itu berarti penemuan-penemuan yang dapat lahir dari pengetahuan manusia masih bebas tak bertuan dan tidak ada jaminan mereka yang kelak akan menguasainya. Terbersitlah konsep kekuasaan pribadi atas ilmu pengetahuan yang berarti segala hasil dari ilmu pengetahuan itupun menjadi milik mereka. Lahirlah “Hak Atas Kekayaan Intelektual” (HAKI) sebagai solusi atas ancaman atas kekuasaan mereka. Dengan berbagai alasan (pembenaran) mereka menghasut orang-orang untuk mendukung konsep HAKI. Orang-orang yang terhasutpun membela mati-matian HAKI dengan harapan-harapan semu “adanya perlindungan hasil karya seseorang”, “adanya penghargaan atas hasil karya seseorang” dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain (semua harapan-harapan semu lainnya). Orang-orang itu tidak pernah sadar akan apa yang sebenarnya ada dibalik HAKI. Jika HAKI dibenarkan maka ketika seseorang memperbanyak sebuah buku dan menyebarkannya secara gratis karena menurutnya buku tersebut sangat bagus dan harus dibaca oleh semua orang maka orang tersebut akan dituntut karena melakukan pembajakan meskipun tujuannya sangat mulia (bukan profit). Jika suatu seseorang mengembangkan sebuah teknologi baru berdasarkan atas teknologi yang sudah ada maka diapun akan dituntut karena melakukan pembajakan atas hasil karya orang lain. Dengan demikian maka apakah ini yang akan membawa perkembangan dan perbaikan kehidupan masyarakat. Masalah lainnya adalah mengapa hasil karya seseorang harus selalu dihargai dengan hal-hal material (seperti uang). Kecenderungan manusia bukan pada uang melainkan berbuat untuk orang lain. Yang membuat manusia cenderung kepada uang adalah mereka yang memang sedari awal terus mengumpulkan kekayaan terus menerus. Praktek bekerjasama dan saling menolong mungkin saat ini sangat susah ditemukan prakteknya didunia nyata ini tapi paling tidak hal itu bukan lagi sebuah konsep yang absurd dan utopis sebab para aktivis open source telah menerapkan hal itu meski masih di dunia cyber dengan GPL-nya (Genegal Public Licence), dimana hasil-hasil karya mereka sepenuhnya ditujukan untuk membantu orang lain yang membutuhkan bukannya uang dan kepemilikannya diserahkan kepublik. Stallman (pendiri Free Software Foundation) mengatakan GPL berusaha melawan kepemilikan pribadi dengan konsep kepemilikan bersama oleh public. Menurutnya GPL tidak menolak hak paten, justru dengan hak paten itulah mereka melindungi karya-karya open source agar tetap free dan kepemilikannya tetap berada pada public, GPL melawan api dengan api. Linus (orang yang pertama kali membuat kernel yang memungkinkan lahirnya system operasi linux) pernah dalam sebuah wawancara ditanya “apakah dia tidak takut jika hasil karyanya dimanfaatkan orang lain sementara dia tidak mendapat keuntungan apa-apa ?” menjawab “untuk apa, bukankah aku sudah punya istri, anak, rumah, dan anak-anaknya dapat bersekolah. Apalagi.” Stallman, Linus, dan aktivis open source lainnya telah membuktikan bahwa kecenderungan manusia bukan pada materi (uang) melainkan keinginan untuk membantu orang lain. Salah satu pernyataan yang umum didalam dunia open source adalah “semakin banyak engkau menolong orang lain maka kaulah orang yang dianggap paling berguna dan paling layak untuk diberi penghormatan”. Dalam hal perkembangan, jika dibandingkan dengan close source maka open source memiliki perkembangan yang lebih baik karena dikerjakan secara bersama-sama oleh komunitas.


Berdasarkan apa yang telah diperlihatkan oleh aktivis open source maka tugas selanjutnya adalah membawa konsep GPL kedalam kehidupan sehari-hari agar betul-betul lebih bermanfaat bagi kehidupan social bukan lagi hanya di dunia cyber.

Open Source Harus Menjadi Gaya Hidup Sehari-hari.
R Stallman

Kepemilikan Pribadi Adalah Pencurian.
Proudon


Posted in

ADA APA DI BULAN MEI

(4.14.2008)



MAYDAY
hari tanpa dominasi, hari tanpa bos !

Menjelang hari besar kaum buruh sedunia, berbagai event, aktivitas akan digelar baik oleh pribadi ataupun kolektif. Di internet, di website-website atau weblog-weblog ramai didiskusikan perihal perayaan mayday. Mulai dari kelompok “merah”, “hijau” “hitam” ataupun yang tidak punya warna namun punya simpati pada hari bersejarah tersebut.
Saat aku lagi edit poster di atas, seorang mahasiswa semester 5 bertanya, siapakah sebenarnya itu buruh/pekerja ?. Seorang teman yang satu berkata, ya........... kita-kita ini yang tidak punya kontrol terhadap kekuasaan dan modal.
Meskipun perdebatan tetang kelompok kelas pekerja yang panjang kali lebar. Namun aku lebih sepakat dengan pembagian berikut:
Kelas pekerja orang-orang yang harus bekerja untuk hidupnya namun tidak memiliki kontrol yang nyata terhadap pekerjaan tersebut atau keputusan-keputusan besar yang memiliki pengaruh dalam hidupnya, yaitu penerima perintah. Kelas ini juga meliputi pengangguran, pensiunan, dll, yang harus bertahan hidup dengan bantuan negara. Mereka miskin dan lemah (dari sudut kekuasaan). Kelas ini meliputi sektor pekerja jasa, sebagian besar (juga bukan mayoritas) pekerja “kerah putih” dan juga pekerja industri “kerah biru” yang tradisional.
Kelas berkuasa orang-orang yang mengontrol keputusan investasi, menentukan kebijakan tingkat tinggi, menyiapkan agenda untuk modal dan negara. Mereka adalah kaum elit papan atas, pemilik atau manajer utama perusahaan-perusahaan besar, multinasional dan bank, pemilik lahan yang luas, pejabat teras negara, politisi, aristokrat, dll. Mereka memiliki kekuasaan yang nyata dalam perekonomian dan / atau negara, dan juga mengontrol masyarakat. Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang diatas, 5-15% dari penduduk.
Tentu saja terdapat area “abu-abu” dalam masyarakat apapun, individu dan kelompok yang jelas tidak layak untuk masuk ke dalam kelas pekerja utaupun kelas penguasa. Mereka meliputi orang-orang yang bekerja namun juga memiliki kontrol terhadap orang lain, contohnya kekuasaan untuk mempekerjakan atau memecat. Mereka adalah orang-orang yang membuat keputusan-keputusan kecil atau sehari-hari yang terkait dengan operasionalisasi kapital atau negara. Area ini mencakup manajemen yang rendah hingga menengah, profesional, dan kapitalis kecil.


yang ingin melanjutkan tulisan ini bisa mengirim teknya ke rtmcode@yahoo.co.id
trus kalo sudah dikirim konfirmasi di kotak komentar :-)

Posted in

“Pengetahuan dalam bentuk komoditi informasi… menjadi tiang utama dalam persaingan kekuasaan dunia” (Jean F. Lyotard, the postmodern condition)

Hingar-bingar terdengar tentang kemiskinan, demonstrasi, penggusuran dimana-mana, di makassar 2 orang mati kelaparan karena tidak makan selama 3 hari (fajar, media TV sabtu 1 maret 2008)ditengah kota yang ramai dengan baliho, atribut calon walikota dalam rangka perebutan kekuasaan. Dimana uang dihambur-hamburkan untuk mencitrakan diri pro rakyat, menimbulkan kesan mamasyarakat, citra peduli, memihak masyarakat dan seterusnya. Didunia kerja para tenaga kerja mau tidak mau rela menerima upah yang di bawah KHM (Kebutuhan Hidup Minimal), hidup segan mati tak mau.
Apakah kita saat ini telah benar-benar merdeka?. Dan apakah para penjajah yang telah malang melintang menyedot seluruh kekayaan dunia dalam lima abad terakhir ini benar-benar kini telah sadar dan benar-benar secara hakiki menjadi orang yang paling beradab, bahkan menjadi pembela paling gigih dari Hak Azasi Manusia ? Benarkah mereka ingin memperjuangkan kebebasan, persamaan, dalam arti yang sesungguhnya?. Berpihak kemanakah lembaga pendidikan kita? Dan bagaimana pendidikan dibawah rezim pasar?.

TIGA SERANGKAI TAMBAH 1
Kini ide globalisme dengan proposisi utama “globalisasi meniscayakan ketidakmungkinan kita untuk menolak keterkaitan global, nilai-nilai global dan kepentingan global” telah menjadi suatu hegemoni. Sebuah hegemoni, menurut Antonio Gramsci, membuat pihak-pihak yang sebenarnya terjajah malahan mengakui superioritas yang menjajah, dan secara sukarela membiarkan diri mereka dijajah. Selain itu , malahan hegemoni membuat pihak yang terjajah mati-matian mempertahankan kepentingan para penjajah.



Ada empat serangkai yang menciptakan hegemoni kapitalisme global. Pertama, korporasi-korporasi raksasa dunia yang kapitalis, paling tidak demikianlah menurut David C. Korten, dalam “When Corporations Rule The World”. Kedua, para penguasa dunia, dalam hal ini adalah Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa yang terkait. Ketiga, para teknokrat, yakni yang telah merancang berbagai sistem globalisme untuk dan demi kepentingan kapitalisme global. Sistem ini mengandung PBB dengan Dewan Keamanannya, yang sering bertindak sangat tidak adil, World Bank, IMF, jaringan bank-bank besar. Kreatifitas Intelektual (HAKI),- suatu hukum global baru yang sampai diperjuangkan mati-matian oleh Bill Clinton dalam konferensi APEC di Bogor 1994- telah berubah menjadi alat teknokrat globalisme yang kurang masuk di akal. Empat serangkai yang menegakkan hegemoni kapitalisme global adalah para intelektual. Dikembangkan secara besar-besaran wacana-wacana yang memandang dunia dan masyarakat yang penuh kebinekaan ini dengan kacamata tunggal. Yakni globalisasi. Toffler, Naisbitt, Ohmae, dan banyak pemikir lain. Globalisasi, dalam arti lenyapnya batas-batas antar negara, dianggap sebagai keniscayaan alamiah yang tidak pernah mungkin dapat ditolak lagi.
Lewat penyebaran wacana oleh intelektual penyokong kapitalisme global yang menyeret pula sebagian besar intelektual negeri ini mendukung matia-matian teori yang pro kapitalisme global. Lihatlah misalnya UI (universitas Indonesia) yang oleh pemerintah dijatah menjadi menteri ekonomi dan tim ahli ekonomi. Meskipun ekonom di universitas tersebut melakukan perselingkuhan mendalam dengan pihak IMF. Bahkan pada kuliah umum untuk mahasiswa baru, mereka menghadirkan pihak IMF menjadi pembicara. sejumlah kampus-kampus besar di Indonesia pun tak lepas dari jerat kapitalisme global.

MERKANTILISME PENGETAHUAN
Merkantilisme (Merchantilism) adalah sebuah kondisi postmodernitas yang digambarkan oleh J.F Lyotard, yaitu berupa komersialisasi pengetahuan dan informasi dalam era kapitalisme global dewasa ini. Merkantilisme pengetahuan dalam dunia pendidikan telah menggiring dunia pendidikan ke arah beragai bentuk pendangkalan, pemassalan, dan populisme sebagi nilai-nilai komersialisasi. Dalam pendidikan yang termerkantilisasi model-model yang diutamakan adalah dimensi-dimensi pengetahuan yang pragmatis, strategis, ekonomis yang pasti berorientasi keuntungan sebagai akibat dari hegemoni kultural kapitalisme. Dan sebaliknya menghambat dimensi-dimensi humanis, sosiologis, atau spiritual dari pengetahuan. Pendidikan kemudian menjelma menjadi alat hegemoni penyanggah kapitalisme. Akibat lebih jauh yang ditimbulkan adalah lahirnya intelektual yang tetap mempertahankan fitur-fitur utama dalam kapitalisme (kepemilikan,eksploitasi, ketiadaan kontrol kelas pekerja atas faktor produksi, demokrasi representatif, penguasaan aset publik oleh segelintir orang dan sentralisasi urusan-urusan publik).
Lebih jauh Lyotard, menjelaskan tentang kondisi pendidikan dan pengetahuan dalam masyarakat postindutri dan kebudayaan postmodernisme. Pengetahuan dalam era tersebut dikemas dalam kemasan komoditi informasi dan kini menjadi alat penting dalam perebutan kekuasaan dalam skala global.negara bangsa yang dulu berjuang untuk mempertahankan wilayah kini bersaing keras untuk mendapatkan akses informasi bila tetap ingin bertahan hidup. Masalahnya kemudian adalah, beralihnya kekuasaan dari negara bangsa ke perusahaan multinasional. Negara kini hanya berperan membuat regulasi-regulasi untuk mengundang para investor dalam dunia pendidikan. Di tangan perusahaan kapitalisme multinasional yang terjadi adalah pengetahuan dan informasi (dan tentunya) ‘pendidikan’ sebagai komoditi untuk diperjualbelikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Kapitalisme menjadikan pendidikan serta pengetahuan yang tercipta didalamnya sebagai komoditi untuk maraup untuk yang berliimpah. Ketika merkantilisme pengetahuan telah menjadi fondasi dari institusi pendidikan maka berbagai bentuk wacana komersial dan komodifikasi dicangkokkan dalam sistem pendidikan, yang membatasi pertumbuhannya sendiri.
Dunia pendidikan menurut Hans Magnus Enzensberger, menjadi sebuah industi besar pikiran yang memproduksi pikiran-pikiran seragam yaitu pikiran-pikiran yang terperangkap dalam motif-motif komersial dan keuntungan semata. orang bersekolah, kuliah hingga sarjana, mempunyai spesialisasi khusus hanya dipersiapkan hanya untuk berintegrasi ke industri, menjadi pekerja, menjadi sekrup di dalam mesin industrialisasi dan kapitalisme. Dalam hal ini, pemaksaan pendidikan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang hanya siap bekerja di industri (link and match) adalah kekerasan budaya (culture violence). Pikiran-pikiran lain yang bermotif moral, sosial, kultural dan spiritual yang sesungguhnya sangat kaya tidak menapat tempat yang memadai. Paradigma pendidikan yang berorientasi pasar hanya akan menghambat kepeloporan, kepemimpinan , kemanusiaan, belaskasih yang justru sangat diperlukan untuk membentuk manusia sempurna. Nantinya, Dunia pendidikan yang mengidap penyakit merkantilisme pengetahuan tidak jauh beda dengan konsep waralaba ala McD dan sejumlah korporasi multinasional yang lain._bandingkan dengan konsep lahirnya BHP_. Bicara soal BHP, aku teringat dengan statement seorang prof di UNM yang menolak kapitalisme namun memandang bahwa BHP itu baik. :-D.

LAGI SIBUK MENGHIAS DIRI !

Pendidikan tepatnya lembaga pendidikan lebih sibuk mempersiapkan diri menyongsong dunia baru. Dunia bisnis pertunjukan! Guy Debord, dalam The Society of the Spectacle, menyebut masyarakat mutakhir, "masyarakat dunia tontonan". Dalam "masyarakat dunia tontonan", citra, kesan, dan penampilan luar adalah segalanya. Sehingga Ia perlu dikemas agar memikat masyarakat.Misalnya, dalam pendidikan adalah kemasan, kesan indah, ramah, taman yang indah, bangunan megah dan tentu mewah adalah yang utama. Bukan pendidikan itu sendiri, yang cinta kesederhanaan, kebenaran, pembebas manusia dari ketertindasan. Ketertindasan dari nafsu uang dan kuasa serta ketertindassan dari “silent culture” lewat hegemoni( baik oleh majikan, pemerintah d.l.l).
The Society of the Spectacle pertama kali dipublikasikan di Perancis pada tahun 1967. Debord melihat bahwa ruang sosial di abad modern dalam masyarakat konsumer, didominasi oleh komoditas, yang berlapis-lapis, dan paling sering muncul dalam bentuk imaji atau citra bahkan ilusi. Tidak heran apabila buku ini diberi judul "Society of the Spectacle", atau dalam bahasa Indonesia mungkin cukup tepat apabila diterjemahkan sebagai "Masyarakat Dunia Tontonan". Terus terang agak sulit mencari padanan kata yang tepat bagi 'Spectacle'.
Spectacle atau 'Dunia Tontonan', adalah kata pengganti untuk menyatakan sebuah hubungan yang termediasikan oleh imaji. Dunia Tontonan ini tapi tidaklah hanya sekedar sekumpulan imaji-imaji yang tak berbahaya; ia akan dapat menjadi, menurut Debord, nyaris satu-satunya bentuk hubungan sosial antar manusia. Dunia Tontonan ini semakin mempertegas bentuk institusi dan juga identitas personal kita. Proses ini digerakkan oleh media massa dan iklan. Dalam sebuah lingkungan sosial yang dijejali dengan imaji-imaji buatan pabrik, maka kebutuhan dasar manusia, nilai guna dan fungsi akan dikomodifikasikan serta diatur dengan pemanipulasian melalui imaji. Uang akan mendominasi sebagai sebuah representasi umum, menjadi point utama untuk mendapatkan segala sesuatu yang baik, termasuk nilai, norma dan bahkan juga 'hidup'. Dari sini terma uang mahakuasa menggantikan tuhan mendapat tempat yang luas:-).
Dunia tontonan adalah penguasa yang tanpa hentinya berbicara tentang drinya sendiri, sebuah monolog yang tak pernah berhenti memuji dirinya sendiri, potret diri dalam sebuah level yang mendominasi secara totaliter setiap aspek kehidupan.Di dalam dunia tontonan para penonton seolah terhipnotis yang nantinya menjadi fetitis.
Fetitisme komoditi (comodity fetitism) adalah suatu sikap yang menganggap adanya kekuatan, daya pesona, atau makna sosial tertentu yang dimiliki oleh sebuah produk (komoditi). Misalnya pesona semangat dibalik produk coca-cola, yang bisa menutupi kejahatan korporasi tersebut terhadap penghilangan hak hidup bagi karyawannya, nike kesan sporty. apa yang terjadi di perusahaan, seperti sepatu Nike: tenaga kerja dibayar amat murah untuk produksi sepatu Nike, tapi dengan aturan aneh, pabrik tidak boleh menjual langsung di pasaran nasional. Semua harus dijual dengan harga kira-kira US $ 10 ke korporasi global Nike. Dan korporasi itu akan menjualnya ke seluruh dunia dengan harga yang berlipat-lipat (mungkin lebih dari sepuluh kali lipat hingga dua puluh kali lipat). Berapapun keuntungan PT Nike, - juga Michael Jordan yang memperoleh ratusan milyar bahkan trilyunan untuk mempromosikannya-, para buruh Indonesia di JABOTABEK hanya sekedar mempertahankan kulitnya menempel di tulang, -menerima gaji yang kurang lebih tak lebih sekedar UMR yang sangat mungkin memiliki nilai di bawah Kebutuhan Hidup Minimal. Dalam kondisi ini, pekerja menjadi dilematis protes di PHK, diam berarti melanggengkan penindasan.
Alieanasi yang dialami pekerja ditempat kerja, tidak jauh beda Alienasi dari penonton, yang menguatkan keadaan suatu objek yang tak berdaya yang dihasilkan dari aktivitas yang tak sadar ini, berjalan melalui proses seperti ini: semakin ia berdiam diri dan merenung, semakin”kurang” ia hidup; semakin ia mengidentifikasikan dirinya dengan image yang ia butuhkan, makin kurang ia memahami hidup dan keinginannya sendiri.Proses pengasingan diri dari dunia tontonan berasal dari gerak sebuah subjek yang diekspresikan oleh kenyataan bahwa sikap individual bukan lagi miliknya, mereka adalah sikap dari seorang yang lain (idola) yang kemudian menghadirkannya kembali untuk mereka. Individu telah kehilangan kontrol dalam realisasi diri (subjek) yang pada akhirnya mengadopsi kategori-kategori pasar untuk menggambarkan diri mereka sendiri (objek). Manusia mengobjektivikasikan diri (self) dan mereka sendiri. Melalui kategori-kategori pasar, “diri” telah menjadi objek dari dimensi dan dinamika pasar.
Alienasi(keterasingan/ tidak bisa menjadi subjek yang otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang lain), ketidakmandirian adalah penyakit akut dalam dunia pendidikan dan tidak akan pernah sembuh ketika dunia pendidikan hanya sibuk berhias mengganti lipstik, dan aksesoris wajah lainnya. Intelektual kampus mesti mentransformasi diri menjadi benteng akal sehat yang kritis terhadap segala bentuk penguasaan/dominasi.baik secara kolektif ataupun individu.Jika Dunia pendidikan ingin survive, maka saatnya tidak menyandarkan diri pada prinsip komersial sebagai nilai dasar kapitalisme. Dunia pendidikan harus mampu memberikan pembelajaran sosial, berpikir holistik, mendorong masyarakat pendidikan untuk mandiri.realitas tidak lagi dilihat secara terpisah melainkan melihatnya secara menyeluruh dan saling terhubung. Karena everithyng is connected.
So, nda ada lagi yang tidak setuju kapitalisme, namun menerima BHP :-D.

Alamat penulis: che_aam@yahoo.co.id / http://rtmcode.blogspot.com
Referensi dibajak dari berbagai sumber.

Posted in

Judul : Jadilah Intelektual Progresif,!
Penulis : Eko Prasetyo,
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta,
Cetakan : I, September 2007,Tebal : v + 133 Halaman

Setiap alat adalah senjata jika kamu memegangnya secara benar.(Ani DiFranco)

Penderitaan bisa menjadi pedang jika diasah (Rogue, film)


Dimulai dengan ungkapan reflektif, sekaligus kritik terhadap teman, kawan dan sahabat yang berbalik menjadi lawan, ada yang berprofesi politisi, kontraktor, birokrat ataupun dosen. Di kampus, spirit solidaritas, radikalisme, energi resistensi seolah tak pernah redup disanubari. Tetapi setelah itu tak banyak dari mereka menjadi mantan aktivis yang justru menjadi penopang tiang-tiang penindasan atau penyangga kekuasaan yang dulu ia kritik, caci maki hingga kutukan. Radikalisme berubah menjadi kompromi, negosiasi dan kebijakan populis. Feodalisme yang dikritknya berubah menjadi anak emas yang harus dirawat, elitisme seakan menjadi trademark hari-harinya. Perburuan donor (proyeknisasi massa), penelitian tak ada bedanya dengan kerajinan tangan atau sulap dimana data potensi alam, kultur masyarakat deserahkan ke Negara donor. dengan data tersebut lima, enam atau sepuluh tahun kedepan akan membunuh generasi secara perlahan.
Bersamaan dengan penghianatan intelektual, Negara seakan tak peduli dengan kepentingan publik, remuknya layanan publik berbanding lurus dengan tingginya makin banyaknya investasi. [1]
Dimanapun penghianat harus dimusnahkan [mafia]
Ribuan pemuda ’istimewa’ yang berhasil terserap dalam dunia pendidikan bernama perguruan tinggi, beratus-ratus sarjana telah pula dilahirkan dari rahimnya. Tapi ketika korupsi telah menjangkiti semua orang yang berada di tubuh birokrasi, ketika harga kebutuhan pokok mencekik rakyat miskin, serta biaya sekolah kian hari kian mahal, kaum intelektual itu hanya diam beribu bahasa. Parahnya lagi, tak sedikit di antara mereka yang turut larut dalam korupsi dan menjadi kian elitis.
Sejatinya seorang intelektual (baca: terpelajar, terdidik) tidak sepantasnya berdiam diri ketika terjadi kesewenang-wenangan. Seharusnya mereka mau dan bisa menggerakkan perlawanan. Atau setidaknya mencoba membuat dunia alternatif (skala komunitas atau gerakan social dalam skala yang lebih luas) yang bisa terbebas dari logika kapitalisme.
Ada beberapa karakteristik intelektual, setidaknya yang bisa saya tangkap dari buku ini yaitu, pertama keresahan melihat ketimpangan sosial. Antonia Gramsci, Che Guevara, Rosa Luxemburg, Sayyid Qutb dan Ali Syariati tidak ada perbedaan dalam hal ini. Dengan kata lain menurut Ali Syariati, tanggung jawab pokok seorang intelektual adalah mengetahui, memahami dan mengenal dengan baik kondisi masyarakat sekitarnya untuk kemudian menanamkan dalam alam pikiran publik semua konflik, pertentangan dan antagonisme yang ada dalam masyarakat, (Hal.09).
Kedua, kecintaan pada kebenaran dan memperjuangkannya. Ketiga, cita akhir perjuangan adalah keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan. keempat, kesederhanaan dan terakhir tidak ada ketakutan sedikitpun pada kematian. [2]


Pada bagian ketiga buku ini, menceritakan tentang Kekuasaan dan robohnya nyali intelektual. Kekuasaan kerap menyimpan dusta dan keji. Dalam kekuasaan tersimpan logika setan, rebut-pertahankan-rebut-pertahankan. Didalamnya ada upaya untuk “merawat diri”, dipercantik dengan slogan dan pencitraan-pencitraan ilusi. Dan kaum intelektual lagi-lagi berperan strategis. Mereka mnjadi ahli politik yang berbicara tentang demokrasi, memberi label/legitimasi/cap bahwa pemilu adalah media yang sngat demokratis, indomesia adalah Negara demokratis… benarkah demikian?. Jika demikian adanya demokrasi itu berbanding lurus dengan kemiskinan, penderitaan, penggusuran dan pengangguran. Jika kita alergi politik. Atau jangan-jangan kita sependapat dengan para pakar ekonomi yang memiliki “iman” pro pasar. Pertumbuha ekonomi dinilai dari seberapa besar investasi, kuantitas tenaga kerja yang terserap stabilitas nilai kurs mata uang. Lalu, bagaimana dengan akses pendidikan warga, jaminan kesehatan, dan tempat tinggal bagi warga.
Sudah saatnya kita curiga pada ekonom dan politisi dan ilmuan-ilmuan kampus yang mengajarkan cara membunuh dengan halus, lewat teori dan data. Saatnya juga kita pertanyakan demokrasi perwakilan yang seolah berbanding lurus dengan penderitaan masyarakat Indonesia. [3]
Dibagian empat buku ini, Eko memberikan deskripsi lewat beragam referensi tentang kelima tokoh yang terlibat dalam gerakan militant.
Dipilihnya lima intelektual progresif itu bukan tanpa alasan. Semua intelektual di atas merupakan sosok intelektual ideal. Yang tidak takut terhadap kematian, penderitaan, dan tidak ngiler ketika dihadapkan dengan kemashyuran demi memperjuangkan tiga tuntutan besar; keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan. Antonio Gramsci karena kegigihannya berjuang harus rela mati dipenjara; Sayyid Qutb dihukum gantung; Ali Syariati yang ditusuk pisau; Che Guevara yang meregang jiwa oleh peluru pasukan Bolivia dan Rosa Luxemburg yang dipukuli kepalanya berulang-ulang oleh musuh dan akhirnya ditembak dengan keji. Tapi semua penderitaan itu tidak selangkahpun menyurutkan niat mereka menyadarkan massa mengenai penindasan dan menggelorakan sebuah perlawanan.
Pada masa pra kemerdekaan negeri ini mencatat banyak kaum intelektual yang pro rakyat yang lahir dari rahim dunia pendidikan. Sebut saja Tan Malaka, Soekarno, KH Agus Salim, Syahrir, Tirto Adhi Suryo, Mas Marco, dan banyak lagi. Mereka mendedikasikan pengetahuan yang mereka dapat dari bangku sekolah untuk kepentingan masyarakat, untuk menggagas kemandirian dan kemerdekaan sebuah bangsa meski penjara dan kematian dari pihak kolonial terus menjadi ancaman setiap jengkal langkah mereka.

ada baiknya menimbang kembali peran kaum intelektual sebagaimana yang diuangkapkan oleh Noam Chomsky dalam language and politics, 1988), bahwa, salah satu tanggungjawab terpenting kaum intelektual adalah '.. mengungkapkan kebohongan-kebohongan pemerintah, menganalisa tindakan-tindakannya sesuai dengan penyebab, motif-motif serta maksud-maksud yang tersembunyi itu dibalik tindakannya.
diresensi oleh zukoz3n

Posted in


Semakin banyak kaum muda yang bermutu yang secara sengaja memilih meniti karier di 'jalur' organisasi masyarakat. Sebagai sebuah 'sektor kerja', dunia organisasi masyarakat sipil sedang dan
pasti akan terus berkembang. (anonim)
Di Internet, komunitas-komunitas demokrasi langsung, tanpa external authority, tanpa ruling class, dimana semua diperlakukan sama tumbuh berjamuran (anonim)

Membincang soal gerakan, pasti dekat dengan term perubahan, karena gerakan dan perubahan adalah hukum pasti, sebuah hukum sebab-akibat. Namun dalam kenyataannya klaim gerakan entah Gerakan sosial, politik, moral tidak selamanya berjalan sebagaimana yang dicita-citakan. Tantangan dan halangan senantiasa menghadang, baik dari dalam organ maupun dari luar.
Term gerakan mahasiswa akhir-akhir ini dianggap nyaris gagal, terbukti gerakan pasca ’98 kurang berhasil mengawal agenda reformasi. Sejumlah krisis yang dideritanya hingga saat ini kian parah, sebut saja krisis ide, krisis wacana, krisis massa, krisis orisinal. Di kebanyakan kampus didominasi wacana pilkada, parpol dan sejumlah masalah sektoral yang tak kunjung usai yang membuat gerakan diantara mereka terpolarisasi.
Dominasi secara inhern menurunkan dan merendahkan diri, karena meletakkan kehendak dan penilaian orang yang didominasi di bawah kehendak dan penilaian yang mendominasi, sehingga menghancurkan derajat dan harga diri yang hanya datang dari otonomi personal. Lagi pula, dominasi, memungkinkan dan pada umumnya memunculkan eksploitasi, yang merupakan akar dari ketidaksetaraan, ketidakadilan, kemiskinan, dan gangguan sosial.
Dominasi muncul, karena adanya segeintir orang yang mengaku memiliki kekuasaan. hukumnya seperti lingkaran setan rebut-pertahankan-rebut pertahankan dan seterusnya. Negara/korporasi adalah media langgengnya dominasi. Pengingkaran terhadapnya adalah sebuah kemestian jika kita ingin hidup bebas-merdeka. tanpa dominasi, tanpa ketidakadilan, tanpa tuan. Karena


andalah tuan bagi dirimu sendiri.
Namun saya masih yakin bahwa, masih ada kelompok kaum muda/mahasiswa yang tersisa dan bebas dari dominasi dan krisis seperti di atas. Yang masih giata mengasah otaknya dan nyali demi tegaknya keadilan dan kesejahteraan untuk semua.

PERJUANGAN BELUM BERAKHIR
Dalam analisis sosial, 3 elemen; pemerintah, pengusaha dan rakyat adalah titik tolak untuk mengambil sikap dalam lapangan sosial. Jika Pemerintah dan pengusaha berselingkuh maka “yakinlah sumpah bos” rakyat pun dilupakan. Ternyata ketidakadilan bukan hanya dinikmati oleh yang tinggal dipinggir kali, PK-5 dan korban-korban selingkuhan Govt-Corp lainnya. Data dan fakta menunjukkan bahwa biaya perang/militer jauh lebih besar untuk pelayanan kesehatan, pajak/royalty perusahaan raksasa seperti Microsoft, Nike, coa-cola dan lain menguasai hampir separuh kekayaan dunia, padahal 1/3 dari penduduk dunia hidup dalam kelaparan. Perjuangan aktivis TI untuk memurahkan/menggratiskan pengetahun pun tak luput dari intimidasi apparatus Negara.
Perjuangan Internet tanpa kabel mulai di rasakan pada tahun 1999 dimana dengan arogannya regulator meminta rakyat yang menggunakan peralatan internet tanpa kabel untuk membayar biaya hak penggunaan frekuensi yang mendekati 20jt/ tahun. Padahal peralatan internet tanpa kabel yang digunakan berharga hanya sekitar Rp 1-2 juta/buahnya; bahkan hari ini sebagian dapat diperoleh dengan biaya kurang dari lima ratus ribu saja, jelas biaya penggunaan frekuensi oleh regulator tidak masuk akal sama sekali. Setelah bertempur di bantu oleh banyak media massa, secara lisan pemerintah menyatakan bersedia untuk merevisi regulasinya. Di tahun 2003, negosiasi terakhir sebuah node Internet tanpa kabel harus membayar sekitar dua juta tujuh ratus ribu rupiah per tahun, tanpa prosedur pendaftaran yang jelas. Akibatnya tidak heran jika melihat aparat mengambil kesempatan menanyakan ijin penyelenggaraan Internet Service Provider, label regulator pada alat yang digunakan untuk akhirnya memalak seratus ribu rupiah setiap kali berkunjung; sukur-sukur tidak menyita peralatan seperti di Jakarta dan di kota-kota lainnya, yang harus di tebus senilai puluhan juta rupiah – memalukan.
Belakangan ini kita melihat cukup banyak jaringan radio komunitas, seperti, Serikat Paguyuban Petani Qaryah Tayyibah (SPPQT) di wilayah Semarang, Jaringan Radio suara petani (JRSP), Jaringan radio suara nelayan (JRSN), Jaringan Radio Suara Buruh, Jaringan radio komunitas Indonesia (JRKI) yang berlokasi di Jawa Barat dan DIY. Di Sumatera Barat, khususnya di Bukittinggi difasilitasi oleh Eltayasa, Riau oleh Riau Mandiri, di Fak-Fak Papua oleh Elpera. Sebagai contoh profile sebuah jaringan radio, Jaringan Radio Suara Petani (JSRP) mulai di bentuk tahun 1999, terutama di wilayah jawa barat. Mereka mempunyai paling tidak 600 radio komunitas di jaringan mereka di bawah pimpinan Ibu Ida Hidayat. Perjuangan radio komunitas berlangsung bertahun-tahun, apalagi di jaman Suharto yang sangat menekan media elektronik. Terutama di Jawa Barat, kisah penggrebekan, menyitaan peralatan oleh aparat merupakan hal yang paling mengenaskan bagi para pejuang radio komunitas. Memang, pada hari ini pemerintah telah mengeluarkan UU 32/2002 tentang media telah memasukan keberadaan radio komunitas ke dalamnya. Tapi dalam pelaksanaannya, radio komunitas hanya memperoleh alokasi tiga (3) buah channel di band FM. Pernahkan anda membayangkan enam ratus radio harus berebut tiga (3) buah channel, sedang sisa channel digunakan oleh mereka yang mempunyai uang untuk membeli frekuensi pada pemerintah. Kemanakah keberpihakan pemerintah?
Perjuangan menuju sebuah cita-cita sederhana untuk melihat bangsa Indonesia yang mampu bertumpu pada kekuatan otaknya; bukan ototnya. Sebuah bangsa yang dapat berjaya dari kemampuan berfikir bukan keringat dan bedil. Percepatan transformasi bertumpu pada kemampuan membangun dan mengoperasikan media telekomunikasi dan informasi. Sialnya, semua proses harus dilakukan tanpa tergantung pada pemerintah yang korup dan KKN, tanpa utangan Bank Dunia maupun IMF.

DON’T SAY JUST SIT THERE, DO SOMETHING

Diam melihat ketidakadilan adalah penghianatan. Apalagi yang mengaku kaum intelektual. Ada baiknya berhenti sejenak memikirkan ide-ide besar seperti revolusi, dan sedikit fokus pada “minimalis action” dan menularkannya kepada orang/kelompok disekitar kita di alam manapun, maya atau pun riil. Sebuah Pola gerakan mandiri, yang sama sekali tidak mengadopsi pola proyek dan utangan Bank Dunia menjadi contoh nyata bagi dunia. Seni-nya bagaimana supaya proses pembangunan dapat dilakukan secara mandiri tanpa bertumpu bantuan pemerintah, utangan bank dunia maupun IMF.
Faktor manusia sebetulnya menjadi kunci utama seluruh proses, bukan struktur, bukan birokrasi, bukan dana, bukan utangan Bank Dunia ataupun IMF, bukan keberadaan badan, lembaga, organisasi apalagi gedung megah beserta peralatan lengkapnya. Seperti hal-nya semua gerakan masyarakat, keberadaan sekelompok pemimpin informal yang ahli berpengetahuan, mempunyai visi ke depan dan bersih dari borok KKN akan sangat menentukan arah dan keberhasilan gerakan massa secara keseluruhan. Alhamdullillah, dalam gerakan infrastruktur telekomunikasi rakyat Indonesia, kelompok pemimpin ini cukup transparan dan mudah terlihat di komunitas Internet Indonesia. Para pemimpin gerakan Internet Indonesia kebanyakan muncul / hadir dari kalangan swasta, mereka memang bukan anggota DPR, bukan anggota partai, bukan Pegawai Negeri Sipil dan birokrat, tapi memberikan hasil nyata pada rakyat Indonesia. Pada akhirnya nilai seseorang tidak di tentukan oleh pangkat, jabatan, kekuasan, gelar, kepandaian, kekayaan maupun predikat duniawi lainnya. Nilai seseorang hanya di tentukan oleh manfaat seseorang tersebut bagi umat sekitarnya. Teknologi Informasi (TI) seperti juga teknologi lainya merupakan alat bantu
manusia untuk mencapai tujuan. Manusia dengan kekuatan otaknya yang akan menentukan kesejahteraan bangsa ini, pendidikan menjadi kunci utamanya bukan kekuasaan & kekuatan.
Fenomena gerakan yang mendorong partisipasi aktif sebanyak mungkin orang dapat kita lihat pada open source seperti freesoftware movement, GNU/Linux, dan Usenet atau situs tukar lagu menggunakan “consensus decision making” ketika mengambil keputusan. Bagi kaum Sosialis Liberal (salah satu cabang “anarkisme”) informasi bukanlah komoditi perdagangan. Mereka menginginkan informasi bagi semua orang, gratis. Di Internet, komunitas-komunitas demokrasi langsung, tanpa external authority, tanpa ruling class, dimana semua diperlakukan sama tumbuh berjamuran. Wikipedia, http://www.wikipedia.org situs ensiklopedi terbesar, juga menggunakan consensus decision making. Ketika netralitas content diperdebatkan, mereka menaruh symbol NPOV (neutrality point of view) dan mendebatkan dahulu sampai tuntas content yang bersangkutan. Kalau disetujui, baru diupload.
Nampaknya ada baiknya tren gerakan kaum muda/ mahasiswa memperjuangkan akses pengetahuan gratis seperti gratisnya cahaya matahari. Menyingkap tirai kebodohan massa yang senang diatur oleh penguasa yang sok mengatur. Sehingga dimasa depan setiap individu/komunitas memiliki kemampuan intelektual yang mumpuni, yang tidak rela menindas dan ditindas.
che_aam@yahoo.co.id

Sumber inspirasi:
Pengalaman Berjuang Tanpa Merengek Pemerintah Onno W. Purbo
Diskusi dengan peserta intermediate training BEM FT UNM Makassar
Menang Karena Pandai Bukan Karena Berkuasa September 25th, 2007 by Onno. InfoLinux
Menjadi Gerilyawan Dunia Maya,Teknik perang rakyat semesta secara perlahan dan bertahap diadopsi. Oleh Onno W. Purbo
Pemilihan Umum dan Ilusi Demokrasi, Mohamad Mova Al ‘Afghani
Tanpa judul, tanahmerahcommunity. http://rtmcode.blogspot.com
www.youtube.com, www.infolinux.com

Posted in

Salam.Untuk kamu yang hobby koleksi film-film pendek, ataupun yang senang mencari inspirasi dari film, atau hanya sekedar enjoy. Persiapannya browser dan flv player/converter download here http://applian.com/flvplayer/?src=KeepvidPlay.

1. Sapa www.youtube.com, ketik kategori video yang kamu butuh. Kik link filmnya.

2. Klik more untuk menampilkan URLnya.

3. Copy URLnya ke KEEPVID.COM. pastikan bahwa window www.keepvid.com telah terbuka.


Jika kamu ingin mengcovert file flv menjadi WMV bisa menggunakan Super converter,
download here http://http://www.erightsoft.com/SUPER.html
tetap hati-hati download video di youtube, karena


Banyak kriminal yang terus berusaha mencari cara-cara baru untuk menginfeksi pengunjung YouTube dengan Trojan terbaru. Salah satunya dan yang terakhir ditemukan adalah dengan menggunakan video Grand Theft Auto sebagai perantara virus. Video ini menampilkan mod Hood Life untuk Grand Theft Auto dan gambar yang ditampilkan sangatllah berkualitas rendah.

Menonton video tersebut tidaklah berbahaya. Ancaman yang sebenarya berasal dari ending video yang menampilkan sebuah site dimana anda bisa mendownload game mod itu sendiri. Jika anda mendownload file tersebut dan menginstallnya, maka komputer anda akan meminta untuk reboot lalu sebuah virus baru akan menginfeksi komputer anda. Menurut Chris Boyd, Director Malware Research dari FaceTime Security Labs setidaknya sudah ada 54 orang yang mendownload game ini.

Semoga bermanfaat. :-)
che_aam@yahoo.co.id

Posted in Label:

Suatu hari, sekolompok anak muda melakukan refresing di jalan. Namun tak ada yang yang ketahui darimana mereka berasal, institusi apa yang mereka wakili. Ketika seorang wartawan bertanya kepada seorang crew longmarch (LM). Dia hanya menjawab “kami kelompok seniman”.

Sepanjang jalan yel-yel diteriakkan.
Rencong marencong… Rencong marencong
No justice no peace
No government no corrupt
Protes, against, injustice, state terror
On the street of the world dst…
Secara bergantian. Mereka pun bergantian bernyanyi, “berorasi” hingga goyangan yang gemulai.


Sebagaimana biasanya, setiap ada ribut-ribut dijalan, polisi tidak mau kehilangan berita/info, kaya’ wartawan aza. Ia pun mengikuti kelompok seniman tersebut yang mengenakan pakaian hitam-hitam dengan muka tertutup, maksudnya mata tetap kelihatan.
Hei bos…. Kemana tujuan aksinya? Tanya pa polisi. Nda ada.
Sampai dimana?, sampai capek kata seorang personil.
Issunya apa? Baca sendiri, sambil crew LM menyodorkan selebaran.
Issu pilkada ya? Lanjut polisi
Nda ada urusan dengan pilkadA.
Polisi semakin mengejar informasi, maklum entar lagi hujan. Akhirnya dia pun megajukan pertanyaan pamungkas. Siapa Korlap aksinya ?. crew pun menjawab dengan santai “ si gombloh” yang mana orang, sela polisi. Ada dibelakang pa’ lagi beli rokok.
Pak police pun, berhenti sejenak menunggu si Gombloh yang sebenarnya tidak akan pernah datang hingga kiamat datang. Crew LM melanjutkan perjalanannya sambil menari dan tertawa ha..ha..ha.

dikirm ole bh01.


Posted in


Kami merindukan alumni perguruan tinggi yang cerdas, progresif dan berani melakukan pilihan kerja di gerakan sosial atau digerakan apapun. Dengan niat suci perang terhadap neoliberalisme. Asumsi umum yang berlaku adalah aktivisme, pemihakan pada nilai kesederhanaan kebenaran dan keadilan hanya cocok diperjuangkan ketika kita masih menjadi aktif di lembaga kemahasiswaan (LK). Setelah itu selamat tinggal nilai-nilai luhur. Sehingga yang terjadi adalah ritual-ritual kosong yang dilakonkan oleh pengurus LK.

Yang tidak kita perlukan adalah ritual-ritual yang kini menjadi jargon kosong. Kita memang membutuhkan semacam platform untuk menentukan ke arah mana kita bergerak (tanggung jawab ekologis, keadilan sosial, hak asasi manusia, dan demokrasi) dan apa yang kita lawan (kemiskinan, perang, rasisme, privatisasi serampangan, konsumerisme, dan lainnya). Tapi, pengulangan tema-tema ini jelas bukanlah fungsi utama forum-forum sosial. Peran sebuah forum sosial seharusnya adalah untuk mengidentifikasi komunitas civic atau kelompok-kelompok masyarakat sipil (baik di level global, regional, atau lokal) yang bekerja dalam isu yang serupa dan menghubungkan mereka sebelum forum itu dimulai sehingga mereka bisa menentukan agenda mereka sendiri dan, ketika akhirnya bertemu di forum, tinggal menjalankannya.


Kita sudah melihat bagaimana banyak orang dari akademisi hingga politikus dari hari ke hari makin yakin dan berani bilang, bahwa organisasi masyarakat sipil (untuk tidak semata menyebut organisasi 'nonpemerintah', karena ada non-yang lain, misalnya nonbisnis) adalah salah satu aktor penting dalam menentukan kebijakan pembangunan. Banyak universitas sudah membuka program studi tentang pembangunan dengan paradigma yang lebih progresif. Banyak badan publik membuka pintu dialog dengan berbagai organisasi masyarakat sipil. Makin banyak lulusan perguruan tinggi yang bermutu yang secara sengaja memilih meniti karier di 'jalur' organisasi masyarakat. Sebagai sebuah 'sektor kerja', dunia organisasi masyarakat sipil sedang dan pasti akan terus berkembang.

Studi terkini menyebutkan bahwa sektor itu secara global bernilai sekitar 1 triliun dolar dengan pekerja dan aktivis sejumlah 19 juta orang (Sustainability.com>, 2003). Tak hanya itu, indikator pembangunan dunia menyebutkan bahwa organisasi masyarakat sipil di negara maju telah menyalurkan hampir 10,5 miliar dolar hibah ke mitra-mitranya di negara-negara berkembang tahun 2001. Ini wajar karena 83.6% organisasi masyarakat sipil yang berorientasi internasional ada di negara maju (World Development Indicator, 2003). Hal inilah yang harus dimanfaatkan sebagai strategi untuk membuat aliansi-aliansi yang makin bermutu dan produktif. Karena tak bisa disangkal, soal kemandirian finansial organisasi masyarakat di negara-negara berkembang masih sangat rendah. Maka memang perlu 'inovasi manajerial dan strategik' yang lebih setara dan progresif.

Posted in



PEMERINTAH (GOVT) tidak akan memberimu apa-apa kecuali kau mencium pantatnya, menjilat bokongnya atau bahkan menjadi anjingnya.
(anonymous)

Di seantero dunia, setiap menjelang suksesi kepemimpinan (pemilu kata orang indonesia) mereka pun mengumbar janji, kesejahteraan, keamanan dan sejumlah janji serapah. Diumbar ibarat lelaki buaya merayu gadis. Suksesi selesai, ada pemenang ada yang kalah. Setelah itu cerita tidak perlu dilanjutkan karena akibatnya adalah kesengsaraan dipihak masyarakat, rakyat kebanyakan. Sungguh kasihan dan menyedihkan.


Haruskah kita terus menjadi korban?, dan diam melihat itu semua adalah pengingkaran terhadap eksistensi diri. Konon, pada awalnya kita diciptakan bebas-merdeka oleh tuhan. Namun seiring berjalannya waktu kebebasan, percaya diri dirampas oleh institusi dimana kita pertama kali mengenal huruf (sekolah), atau industri/korporasi ketika kita jadi buruh/karyawan, atau dengan ikhlas dan sukarela diserahkan pada negara dengan asumsi kita tidak bisa mengatur diri kita sendiri. Akibatnya keberadaan ribuan bahkan puluhan juta orang ditanggung/dijamin/diatur oleh segelitir orang (presidan,raja,pm dsb) dan teman-temannya. Dominasi segelitir orang terhadap banyak orang. Dominasi secara inhern menurunkan dan merendahkan diri, karena meletakkan kehendak dan penilaian orang yang didominasi di bawah kehendak dan penilaian yang mendominasi, sehingga menghancurkan derajat dan harga diri yang hanya datang dari otonomi personal. Lagi pula, dominasi, memungkinkan dan pada umumnya memunculkan eksploitasi, yang merupakan akar dari ketidaksetaraan, ketidakadilan, kemiskinan, dan gangguan sosial.

Dominasi muncul, karena adanya segeintir orang yang mengaku memiliki kekuasaan. hukumnya seperti lingkaran setan rebut-pertahankan-rebut pertahankan dan seterusnya. Negara/korporasi adalah media langgengnya dominasi. Pengingkaran terhadapnya adalah sebuah kemestian jika kita ingin hidup bebas-merdeka. tanpa dominasi, tanpa ketidakadilan, tanpa tuan. Andalah tuan bagi dirimu sendiri.

Dan akhirnya andalah penentu semua hidup anda,ingin santai atau tersiksa rutinitas yang membosankan.

Terakhir sekali:
Bukan ku enggan pikirkan masa depan,
tapi ku enggan hidupku jadi beban,
terjebak aturan yang menyesatkan (song).

Posted in