“Pengetahuan dalam bentuk komoditi informasi… menjadi tiang utama dalam persaingan kekuasaan dunia” (Jean F. Lyotard, the postmodern condition)

Hingar-bingar terdengar tentang kemiskinan, demonstrasi, penggusuran dimana-mana, di makassar 2 orang mati kelaparan karena tidak makan selama 3 hari (fajar, media TV sabtu 1 maret 2008)ditengah kota yang ramai dengan baliho, atribut calon walikota dalam rangka perebutan kekuasaan. Dimana uang dihambur-hamburkan untuk mencitrakan diri pro rakyat, menimbulkan kesan mamasyarakat, citra peduli, memihak masyarakat dan seterusnya. Didunia kerja para tenaga kerja mau tidak mau rela menerima upah yang di bawah KHM (Kebutuhan Hidup Minimal), hidup segan mati tak mau.
Apakah kita saat ini telah benar-benar merdeka?. Dan apakah para penjajah yang telah malang melintang menyedot seluruh kekayaan dunia dalam lima abad terakhir ini benar-benar kini telah sadar dan benar-benar secara hakiki menjadi orang yang paling beradab, bahkan menjadi pembela paling gigih dari Hak Azasi Manusia ? Benarkah mereka ingin memperjuangkan kebebasan, persamaan, dalam arti yang sesungguhnya?. Berpihak kemanakah lembaga pendidikan kita? Dan bagaimana pendidikan dibawah rezim pasar?.

TIGA SERANGKAI TAMBAH 1
Kini ide globalisme dengan proposisi utama “globalisasi meniscayakan ketidakmungkinan kita untuk menolak keterkaitan global, nilai-nilai global dan kepentingan global” telah menjadi suatu hegemoni. Sebuah hegemoni, menurut Antonio Gramsci, membuat pihak-pihak yang sebenarnya terjajah malahan mengakui superioritas yang menjajah, dan secara sukarela membiarkan diri mereka dijajah. Selain itu , malahan hegemoni membuat pihak yang terjajah mati-matian mempertahankan kepentingan para penjajah.



Ada empat serangkai yang menciptakan hegemoni kapitalisme global. Pertama, korporasi-korporasi raksasa dunia yang kapitalis, paling tidak demikianlah menurut David C. Korten, dalam “When Corporations Rule The World”. Kedua, para penguasa dunia, dalam hal ini adalah Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa yang terkait. Ketiga, para teknokrat, yakni yang telah merancang berbagai sistem globalisme untuk dan demi kepentingan kapitalisme global. Sistem ini mengandung PBB dengan Dewan Keamanannya, yang sering bertindak sangat tidak adil, World Bank, IMF, jaringan bank-bank besar. Kreatifitas Intelektual (HAKI),- suatu hukum global baru yang sampai diperjuangkan mati-matian oleh Bill Clinton dalam konferensi APEC di Bogor 1994- telah berubah menjadi alat teknokrat globalisme yang kurang masuk di akal. Empat serangkai yang menegakkan hegemoni kapitalisme global adalah para intelektual. Dikembangkan secara besar-besaran wacana-wacana yang memandang dunia dan masyarakat yang penuh kebinekaan ini dengan kacamata tunggal. Yakni globalisasi. Toffler, Naisbitt, Ohmae, dan banyak pemikir lain. Globalisasi, dalam arti lenyapnya batas-batas antar negara, dianggap sebagai keniscayaan alamiah yang tidak pernah mungkin dapat ditolak lagi.
Lewat penyebaran wacana oleh intelektual penyokong kapitalisme global yang menyeret pula sebagian besar intelektual negeri ini mendukung matia-matian teori yang pro kapitalisme global. Lihatlah misalnya UI (universitas Indonesia) yang oleh pemerintah dijatah menjadi menteri ekonomi dan tim ahli ekonomi. Meskipun ekonom di universitas tersebut melakukan perselingkuhan mendalam dengan pihak IMF. Bahkan pada kuliah umum untuk mahasiswa baru, mereka menghadirkan pihak IMF menjadi pembicara. sejumlah kampus-kampus besar di Indonesia pun tak lepas dari jerat kapitalisme global.

MERKANTILISME PENGETAHUAN
Merkantilisme (Merchantilism) adalah sebuah kondisi postmodernitas yang digambarkan oleh J.F Lyotard, yaitu berupa komersialisasi pengetahuan dan informasi dalam era kapitalisme global dewasa ini. Merkantilisme pengetahuan dalam dunia pendidikan telah menggiring dunia pendidikan ke arah beragai bentuk pendangkalan, pemassalan, dan populisme sebagi nilai-nilai komersialisasi. Dalam pendidikan yang termerkantilisasi model-model yang diutamakan adalah dimensi-dimensi pengetahuan yang pragmatis, strategis, ekonomis yang pasti berorientasi keuntungan sebagai akibat dari hegemoni kultural kapitalisme. Dan sebaliknya menghambat dimensi-dimensi humanis, sosiologis, atau spiritual dari pengetahuan. Pendidikan kemudian menjelma menjadi alat hegemoni penyanggah kapitalisme. Akibat lebih jauh yang ditimbulkan adalah lahirnya intelektual yang tetap mempertahankan fitur-fitur utama dalam kapitalisme (kepemilikan,eksploitasi, ketiadaan kontrol kelas pekerja atas faktor produksi, demokrasi representatif, penguasaan aset publik oleh segelintir orang dan sentralisasi urusan-urusan publik).
Lebih jauh Lyotard, menjelaskan tentang kondisi pendidikan dan pengetahuan dalam masyarakat postindutri dan kebudayaan postmodernisme. Pengetahuan dalam era tersebut dikemas dalam kemasan komoditi informasi dan kini menjadi alat penting dalam perebutan kekuasaan dalam skala global.negara bangsa yang dulu berjuang untuk mempertahankan wilayah kini bersaing keras untuk mendapatkan akses informasi bila tetap ingin bertahan hidup. Masalahnya kemudian adalah, beralihnya kekuasaan dari negara bangsa ke perusahaan multinasional. Negara kini hanya berperan membuat regulasi-regulasi untuk mengundang para investor dalam dunia pendidikan. Di tangan perusahaan kapitalisme multinasional yang terjadi adalah pengetahuan dan informasi (dan tentunya) ‘pendidikan’ sebagai komoditi untuk diperjualbelikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Kapitalisme menjadikan pendidikan serta pengetahuan yang tercipta didalamnya sebagai komoditi untuk maraup untuk yang berliimpah. Ketika merkantilisme pengetahuan telah menjadi fondasi dari institusi pendidikan maka berbagai bentuk wacana komersial dan komodifikasi dicangkokkan dalam sistem pendidikan, yang membatasi pertumbuhannya sendiri.
Dunia pendidikan menurut Hans Magnus Enzensberger, menjadi sebuah industi besar pikiran yang memproduksi pikiran-pikiran seragam yaitu pikiran-pikiran yang terperangkap dalam motif-motif komersial dan keuntungan semata. orang bersekolah, kuliah hingga sarjana, mempunyai spesialisasi khusus hanya dipersiapkan hanya untuk berintegrasi ke industri, menjadi pekerja, menjadi sekrup di dalam mesin industrialisasi dan kapitalisme. Dalam hal ini, pemaksaan pendidikan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang hanya siap bekerja di industri (link and match) adalah kekerasan budaya (culture violence). Pikiran-pikiran lain yang bermotif moral, sosial, kultural dan spiritual yang sesungguhnya sangat kaya tidak menapat tempat yang memadai. Paradigma pendidikan yang berorientasi pasar hanya akan menghambat kepeloporan, kepemimpinan , kemanusiaan, belaskasih yang justru sangat diperlukan untuk membentuk manusia sempurna. Nantinya, Dunia pendidikan yang mengidap penyakit merkantilisme pengetahuan tidak jauh beda dengan konsep waralaba ala McD dan sejumlah korporasi multinasional yang lain._bandingkan dengan konsep lahirnya BHP_. Bicara soal BHP, aku teringat dengan statement seorang prof di UNM yang menolak kapitalisme namun memandang bahwa BHP itu baik. :-D.

LAGI SIBUK MENGHIAS DIRI !

Pendidikan tepatnya lembaga pendidikan lebih sibuk mempersiapkan diri menyongsong dunia baru. Dunia bisnis pertunjukan! Guy Debord, dalam The Society of the Spectacle, menyebut masyarakat mutakhir, "masyarakat dunia tontonan". Dalam "masyarakat dunia tontonan", citra, kesan, dan penampilan luar adalah segalanya. Sehingga Ia perlu dikemas agar memikat masyarakat.Misalnya, dalam pendidikan adalah kemasan, kesan indah, ramah, taman yang indah, bangunan megah dan tentu mewah adalah yang utama. Bukan pendidikan itu sendiri, yang cinta kesederhanaan, kebenaran, pembebas manusia dari ketertindasan. Ketertindasan dari nafsu uang dan kuasa serta ketertindassan dari “silent culture” lewat hegemoni( baik oleh majikan, pemerintah d.l.l).
The Society of the Spectacle pertama kali dipublikasikan di Perancis pada tahun 1967. Debord melihat bahwa ruang sosial di abad modern dalam masyarakat konsumer, didominasi oleh komoditas, yang berlapis-lapis, dan paling sering muncul dalam bentuk imaji atau citra bahkan ilusi. Tidak heran apabila buku ini diberi judul "Society of the Spectacle", atau dalam bahasa Indonesia mungkin cukup tepat apabila diterjemahkan sebagai "Masyarakat Dunia Tontonan". Terus terang agak sulit mencari padanan kata yang tepat bagi 'Spectacle'.
Spectacle atau 'Dunia Tontonan', adalah kata pengganti untuk menyatakan sebuah hubungan yang termediasikan oleh imaji. Dunia Tontonan ini tapi tidaklah hanya sekedar sekumpulan imaji-imaji yang tak berbahaya; ia akan dapat menjadi, menurut Debord, nyaris satu-satunya bentuk hubungan sosial antar manusia. Dunia Tontonan ini semakin mempertegas bentuk institusi dan juga identitas personal kita. Proses ini digerakkan oleh media massa dan iklan. Dalam sebuah lingkungan sosial yang dijejali dengan imaji-imaji buatan pabrik, maka kebutuhan dasar manusia, nilai guna dan fungsi akan dikomodifikasikan serta diatur dengan pemanipulasian melalui imaji. Uang akan mendominasi sebagai sebuah representasi umum, menjadi point utama untuk mendapatkan segala sesuatu yang baik, termasuk nilai, norma dan bahkan juga 'hidup'. Dari sini terma uang mahakuasa menggantikan tuhan mendapat tempat yang luas:-).
Dunia tontonan adalah penguasa yang tanpa hentinya berbicara tentang drinya sendiri, sebuah monolog yang tak pernah berhenti memuji dirinya sendiri, potret diri dalam sebuah level yang mendominasi secara totaliter setiap aspek kehidupan.Di dalam dunia tontonan para penonton seolah terhipnotis yang nantinya menjadi fetitis.
Fetitisme komoditi (comodity fetitism) adalah suatu sikap yang menganggap adanya kekuatan, daya pesona, atau makna sosial tertentu yang dimiliki oleh sebuah produk (komoditi). Misalnya pesona semangat dibalik produk coca-cola, yang bisa menutupi kejahatan korporasi tersebut terhadap penghilangan hak hidup bagi karyawannya, nike kesan sporty. apa yang terjadi di perusahaan, seperti sepatu Nike: tenaga kerja dibayar amat murah untuk produksi sepatu Nike, tapi dengan aturan aneh, pabrik tidak boleh menjual langsung di pasaran nasional. Semua harus dijual dengan harga kira-kira US $ 10 ke korporasi global Nike. Dan korporasi itu akan menjualnya ke seluruh dunia dengan harga yang berlipat-lipat (mungkin lebih dari sepuluh kali lipat hingga dua puluh kali lipat). Berapapun keuntungan PT Nike, - juga Michael Jordan yang memperoleh ratusan milyar bahkan trilyunan untuk mempromosikannya-, para buruh Indonesia di JABOTABEK hanya sekedar mempertahankan kulitnya menempel di tulang, -menerima gaji yang kurang lebih tak lebih sekedar UMR yang sangat mungkin memiliki nilai di bawah Kebutuhan Hidup Minimal. Dalam kondisi ini, pekerja menjadi dilematis protes di PHK, diam berarti melanggengkan penindasan.
Alieanasi yang dialami pekerja ditempat kerja, tidak jauh beda Alienasi dari penonton, yang menguatkan keadaan suatu objek yang tak berdaya yang dihasilkan dari aktivitas yang tak sadar ini, berjalan melalui proses seperti ini: semakin ia berdiam diri dan merenung, semakin”kurang” ia hidup; semakin ia mengidentifikasikan dirinya dengan image yang ia butuhkan, makin kurang ia memahami hidup dan keinginannya sendiri.Proses pengasingan diri dari dunia tontonan berasal dari gerak sebuah subjek yang diekspresikan oleh kenyataan bahwa sikap individual bukan lagi miliknya, mereka adalah sikap dari seorang yang lain (idola) yang kemudian menghadirkannya kembali untuk mereka. Individu telah kehilangan kontrol dalam realisasi diri (subjek) yang pada akhirnya mengadopsi kategori-kategori pasar untuk menggambarkan diri mereka sendiri (objek). Manusia mengobjektivikasikan diri (self) dan mereka sendiri. Melalui kategori-kategori pasar, “diri” telah menjadi objek dari dimensi dan dinamika pasar.
Alienasi(keterasingan/ tidak bisa menjadi subjek yang otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang lain), ketidakmandirian adalah penyakit akut dalam dunia pendidikan dan tidak akan pernah sembuh ketika dunia pendidikan hanya sibuk berhias mengganti lipstik, dan aksesoris wajah lainnya. Intelektual kampus mesti mentransformasi diri menjadi benteng akal sehat yang kritis terhadap segala bentuk penguasaan/dominasi.baik secara kolektif ataupun individu.Jika Dunia pendidikan ingin survive, maka saatnya tidak menyandarkan diri pada prinsip komersial sebagai nilai dasar kapitalisme. Dunia pendidikan harus mampu memberikan pembelajaran sosial, berpikir holistik, mendorong masyarakat pendidikan untuk mandiri.realitas tidak lagi dilihat secara terpisah melainkan melihatnya secara menyeluruh dan saling terhubung. Karena everithyng is connected.
So, nda ada lagi yang tidak setuju kapitalisme, namun menerima BHP :-D.

Alamat penulis: che_aam@yahoo.co.id / http://rtmcode.blogspot.com
Referensi dibajak dari berbagai sumber.

Posted in